Minggu, 05 Desember 2010

INTEGRASI HUKUM KELUARGA DAN PERSPEKTIF GENDER (Catatan Singkat Untuk PSW)

Keterlibatan saya dalam isu relasi gender sebenarnya baru. Embrionya baru di mulai, paling tidak secara akademis, ketika saya menempuh program magister konsentrasi hukum keluarga di IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1998. Beruntung saya waktu itu langsung mendapatkan ilmu dari ‘sang maestro’ (almarhum) Mansour Faqih. Ia menjadi maestro karena hampir keseluruhan pegiat isu ini pasti menyempatkan diri membaca bukunya berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial.”

Berada di dalam kelasnya selama satu semester luar biasa memberikan saya inspirasi. Apalagi ia seorang laki-laki, yang nota bene tidak punya pengalaman sebagai perempuan tetapi memiliki kepedualian, rasa empati, dan kedalaman pengetahuan tentang isu keadilan dan kesetaraan gender dalam kerangka transformasi sosial, cukup membuat saya sadar dan terbelalak. Saya akhirnya menetapkan diri untuk memfokuskan kajian tesis saya pada isu ini. Tidak banyak materi yang beliau berikan tetapi perspektif dan cara berpikir kritis yang ia lontarkan sangat mendorong saya untuk terus mengkaji isu gender terutama berkaitan dengan spesifikasi keilmuan saya yaitu hukum keluarga.

Background hukum keluarga lebih lama saya miliki, dibandingkan dengan background gender, yaitu sejak S1, walaupun dulu dengan nama konsentrasi yang berbeda yaitu Peradilan Agama atau Qadha’ tapi kajiannya seputar hukum keluarga atau ahwal al syakhsiyyah. Adalah benar, selama S1 saya sering mengikuti kajian tentang isu-isu seputar relasi gender secara freelance karena merupakan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler, tapi apa yang saya pahami masih dalam kerangka normatif tanpa fokus perspektif yang memadai.

Spesialisasi hukum keluarga kemudian berlanjut sampai S2 saya yang pertama. Setelah pada semester 1 saya mendapatkan perspektif kritis dari pak Mansour Faqih, saya mulai memfokuskan kajian semua makalah saya pada isu relasi gender, apapun mata kuliahnya. Perspektif gender selalu menarik dan tepat untuk dipakai sebagai analisis. Pengalaman ini lalu membuat saya mulai menyadari bahwa memang ada ‘hubungan’ yang sangat kuat antara materi hukum keluarga dan analisis gender. Sampai akhirnya saya menyusun thesis tentang UU perkawinan ditinjau dari analisis gender.

Tamat dari S2 saya lalu pulang ke “kampung” NTB mengabdi di IAIN Mataram. Saya pun diamanatkan untuk mengampu mata kuliah Hukum Islam Indonesia yang dulu namanya Peradilan Agama di Indonesia. 4 tahun mengajar mata kuliah ini dari 2000-2004 membuat saya lebih memahami bahwa menjelaskan hukum keluarga apalagi ketika harus dikaitkan teori normatif, baik dari fiqh maupun hukum, dengan realitas kehidupan terutama dalam konteks NTB memerlukan analisis gender yang memadai karena begitu banyaknya isu ketimpangan relasi yang menghinggapi keluarga muslim di wilayah ini.

Momen kesadaran ini semakin terpupuk ketika pada tahun 2003, IAIN Mataram membentuk Pusat Studi Wanita di mana saya dan teman-teman, walaupun masih dalam jumlah dan scope yang terbatas, berdiskusi tentang isu-isu tersebut. Pada awal tahun 2004 ketika ada perubahan kurikulum di IAIN Mataram, kami dan beberapa temanpun mengusulkan untuk memasukkan mata kuliah Fiqh an Nisa’ di konsentrasi Ahwal al Syakhsiyyah (AS) dan berhasil sehingga sampai sekarang mata kuliah tersebut menjadi bagian yang harus ditempuh oleh mahasiswa AS.

Menyadari kekurangan saya dari segi metodologi, perspektif maupun analisis kritis yang terkait dengan permasalahan gender, saya lalu memutuskan untuk mendalaminya pada S2 kedua saya dengan spesifik program studi Women’s Studies yang berada di bawah payung keilmuan sosiologi hukum dan sosiologi keluarga. Beruntung lagi saya mendapatkan beasiswa fulbright yang memungkinkan saya untuk mendalami kajian ini di negara adidaya USA.

Keberadaan saya selama dua tahun di Amerika memberikan banyak pelajaran bukan saja dari ruang kelas tetapi juga dari interaksi dengan teman, dosen, dan kolega di luar kelas baik yang muslim maupun yang non muslim. Saya juga semakin mengerti bahwa kehidupan keluarga tidak sesimple yang saya sebelumnya bayangkan. Keluarga-keluarga di Amerika adalah rata rata keluarga nuclear. Mereka tidak memiliki pembantu sehingga betul-betul kerjasama antaranggota keluarga sangat diperlukan. Keluarga di sana juga diartikan bukan saja family of men and women, tetapi juga family of women or family of men: keluarga Lesbian dan Gay. Belum lagi kalau bicara tentang sistem no fault divorce (perceraian tanpa memerlukan alasan kesalahan pasangan, cukup dengan alasan sudah tidak ada cinta) yang mendorong sangat tingginya angka perceraian. Individualisme dan kemandirian seorang perempuan yang luar biasa juga menjadi pemicu tingginya angka perceraian. Kehidupan keluarga sangat berkembang yang seakan-akan kita secara individu tertinggal. Dalam era globalisasi sekarang, bukan tidak mungkin perkembangan ini akan segera menjalar ke mana-mana bahkan ke Indonesia.

Di sisi lain, keluarga Indonesia terutama keluarga Muslim, bisa jadi karena kesamaan ideologi, juga sedikit banyak berkiblat pada prototipe keluarga Arab di mana perempuan dalam banyak hal sangat tergantung kepada suami dan persoalan domestik-publik sangat tajam menciptakan segregasi antar jenis kelamin. Masalah seperti itu, ironisnya, masih dipandang sebagai hal yang memang seharusnya dengan menyandarkan isu ini pada dalil-dalil agama.

Tentu saja semua pengaruh dari Barat maupun dari Timur tersebut tidak bisa diterima mentah-mentah karena kehidupan keluarga di Indonesia terbentuk oleh konteks yang berbeda. Tetapi penerimaan yang tidak mentah-mentah ini memerlukan kedewasaan berpikir dan pengetahuan serta perspektif yang memadai. Saya tetap punya standpoint bahwa keluarga tetap penting dan perjuangan gender tidak harus mengorbankan keluarga karna justeru inilah institusi yang memerlukan kesungguhan, pengorbanan, dan negosiasi yang luarbiasa sehingga tantangan dan kesempatan membumikan ide kesetaraan menemukan tempatnya. Oleh karenanya integrasi perspektif gender ke dalam hukum keluarga menemukan arti pentingnya

Signifikansi Integrasi Hukum Keluarga dan Perspektif Gender
Tantangan yang dihadapi oleh keluarga modern sebagaimana disebutkan di atas mengantarkan kita pada pilihan akan sebuah keharusan penguatan institusi keluarga. Tentu saja sebagai akademisi maupun praktisi yang terlibat dalam permasalahan keluarga harus membekali diri dengan berbagai macam cara pandang kritis, maupun wawasan dan perspektif baru tentang keluarga yang kebetulan menurut saya akan bermuara pada perspektif relasi gender.
Singkatnya, pengalaman, dialektika kehidupan yang saya alami di atas sampai saat ini memberi saya pengetahuan (mungkin untuk sementara) yang mengantar saya pada kesimpulan bahwa program studi untuk mencetak akademisi maupun praktisi yang terlibat dalam hukum keluarga perlu membekali diri dengan pengetahuan dan analisis gender. Demikian pula sebaliknya, mereka yang ingin terlibat secara intens dalam isu kesetaraan perlu juga membekali diri dengan hal-hal yang terkait dengan keluarga dan hukum keluarga, karena beberapa alasan berikut:
1. Kerbert dan Dehart, duo sejarahwati feminis dari Amerika mengatakan bahwa jika sistem mengenai relasi gender dalam sebuah budaya ingin dipahami, maka aturan hukum keluarga khususnya perkawinan adalah tempat di mana harus memulai.
Pendapat tersebut tidak berlebihan jika memang melihat betapa di dalam lembaga keluarga bercokol isu-isu ketidaksetaraan dan hukum keluarga khususnya tentang perkawinan masih banyak menyisakan pertanyaan tentang ketidaksetaraan itu. Keluarga sendiri bersama-sama hukum merupakan dua buah institusi yang saling mengisi dalam melanggengkan subordinasi dalam relasi gender. Ini tentu saja tantangan bagi pegiat isu ini. Diperlukan cara pandang yang saling melengkapi untuk menentang kemapanan budaya patriarkhi yang memperalat keluarga dan hukum keluarga itu sendiri sebagai institusi yang memapankan relasi timpang antar jenis kelamin. Meminjam istilah dari aliran liberal feminisme, diperlukan perjuangan within the system (perjuangan yang dimulai dari perbaikan dalam institusi itu sendiri). Dengan demikian, cara pandang baru yang bisa mengawinkan perspektif gender untuk relasi setara di dalam keluarga dan hukum keluarga tidak lagi sekedar daur ulang dari hukum yang diinginkan oleh mereka yang berkuasa tetapi dapat menjadi upaya membalik paradigma (shifting paradigm) untuk menjadikan keluarga sebagai tempat dimulainya upaya kesetaraan itu.
Relasi dalam keluarga sangat gampang memunculkan isu ketidaksetaraan ketika keluarga memang gagal melakukan demokratisasi internal, sebut saja misalnya isu pembagian tugas, isu posisi tawar, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),. Lagi-lagi, bagi masyarakat muslim yang menganggap keluarga sebagai institusi yang penting dalam keberlanjutan kehidupan dan jati diri muslim, keluarga perlu diperkuat agar melakukan demokratisasi dan mempioneri kesetaraan itu. Tentu salah satu caranya dengan mengenali isu-isu dan perspektif kritis tentang keluarga yang lalu diaplikasikan demi kemaslahatan keluarga itu sendiri. Siapapun tidak menolak bahwa membicarakan isu kesetaraan dan keadilan dalam scope yang lebih luas, harus dimulai dari keluarga. Untuk menyebut beberapa kasus misalnya keterlibatan seorang perempuan di dunia publik sesungguhnya sangat mungkin kalau dunia keluarga sudah terdemokratisasi. Negosiasi publik dan domestik ini menjadi isu esensial di dalam upaya pembinaan keluarga yang berkesetaraan dan berkeadilan.

2. Hukum Mua’amalah, terkhusus hukum keluarga, menjadi hukum yang paling banyak disebut dan diatur secara detail di dalam al Qur’an. Namun demikian, interpretasi terhadap hukum keluarga dalam penafsiran keagamaan masih dikuasai oleh wacana patriarkhi karena memang begitu minimnya kontribusi perempuan dan metodologi emansipatoris dalam memandang persoalan hukum ini.
Jika dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, semisal hukum pidana, hukum ekonomi, dan hukum sipil, hukum keluarga adalah satu-satunya hukum yag sarat dengan isu ketimpangan relasi gender. Dalam hukum pidana misalnya, jenis kelamin tidak menjadi dasar perbedaan hukuman sebagai pelaku pidana misalnya pada pidana pencurian, jelas sanksi pidananya sama-sama dipotong tangan bak yang melakukan itu laki-laki maupun perempuan. Demikian pula pada hukum sipil semisal sewa menyewa, gadai menggadai, dan hutang piutang yang tidak mempersyaratkan standard yang berbeda bagi laki-laki maupun perempuan. Sayangnya ketika sampai pada hukum keluarga masalah menjadi lain, sebut saja misalnya permasalahan izin dari suami ketika istri harus melakukan transaksi bisnis, isu poligami, hak menjatuhkan thalaq, dan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.
Dengan berdalih bahwa laki-laki memang secara agama diberi hak yang istimewa dalam keluarga, banyak justeru ketimpangan relasi itu dimulai dalam keluarga. Padahal keluarga menjadi tempat pertama dan utama berlangsungnya sosialisasi karakter dan pendidikan. Tanpa cara pandang kritis dan perspektif baru untuk mewujudkan relasi yang lebih setara di dalam keluarga, keluarga lalu bahkan bisa terjebak menjadi tempat yang justeru mengajarkan ketidaksetaraan itu.
3. Di negara-negara Muslim, hukum keluarga menjadi satu-satunya hukum yang paling cepat diakomodasi menjadi hukum positif yaitu hukum yang diberlakukan bagi keluarga muslim dengan pengakuan negara secara formal, dengan berbagai pertimbangannya yang salah satunya untuk meningkatkan posisi tawar kaum perempuan di dalam keluarga.
Di satu sisi fenomena ini menggembirakan karena paling tidak identitas dan kehususan aturan tentang keluarga muslim diakui. Keluarga muslim juga lebih dijamin haknya untuk mengatur relasi keluarganya oleh negara dengan aturan-aturan mereka sendiri. Terlebih, positifisasi hukum keluarga Islam didasari tujuan untuk mereformasi hal-hal yang masih meletakkan perempuan hanya sebagai obyek di dalam keluarganya. Tercatat banyak formulasi hukum baru yang beranjak dari ketentuan fikh klassik dengan alasan tersebut, misalnya adanya syarat-syarat berpoligami, ketentuan batasan usia minimal perkawinan, dan pencatatan perkawnian.
Tetapi di sisi lain, positifisasi hukum keluarga ini menjadi bumerang dan taruhan ketika hukum keluarga itu tidak bisa mengakomodasi dinamika sosial sehingga hukum keluarga terjebak menjadi pendaur ulang relasi timpang. Lebih mengkhawatirkan karena kekuatan formal dengan positifisasi hukum keluarga itu menjadi senjata yang justeru meletakkan relasi gender pada situasi yang lebih sulit. Misalnya, aturan tentang nusyuz (ketidakpatuhan), pada sebagaian besar hukum keluarga yang berlaku di negara muslim, termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi aturan yang dipegang oleh peradilan agama di Indonesia, nusyuz masih dipandang sepihak dalam arti hanya terkait dengan ketidakpatuhan istri atau penelantaran tanggungjawab seorang istri yang memiliki konsekuensi hukum yang jelas, sementara penelantaran tanggungjawab suami tidak disebut-sebut sebagai nusyuz padahal al-Qur’an sendiri menyebut kemungkinan pelaku nusyuz baik dari pihak suami maupun istri. Alih-alih memberdayakan perempuan sebagai salah satu alasan mereformasi hukum keluarga, aturan ini justeru meletakkan perempuan hanya sebagai obyek dan pelengkap dalam keluarganya tanpa jaminan hak yang jelas.
4. Munculnya fenomena isu gender vis a vis keluarga. Fenomena ini menghadapkan isu kesetaraan dan keluarga sebagai pilihan yang harus diambil salah satu. Kalau mau berpikir kesetaraan, tinggalkan keluarga, sebaliknya kalau memutuskan berkeluarga, lupakan kesetaraan.
Cara berpikir seperti itu, hemat saya, berbahaya. Bahaya karena tidak realistis. Dua hal yang dipandang berbeda tidak harus dipisahkan untuk mencari jalan sendiri-sendiri tetapi perlu dinegosiasikan dan dicari titik temunya. Mungkin memerlukan waktu, pengorbanan, dan perjuangan yang luar biasa tetapi memang itulah proses yang harus dilalui. Munculnya fenomena seperti itu juga mungkin wajar, karena banyak pejuang isu kesetaraan ini merasa ‘depresi’ dengan slow progress dari perjuangan yang mereka tempuh. Pejuang radikal feminisme misalnya menginginkan separatisme perempuan dalam memerjuangkan isu kesetaraan. Salah seorang tokoh feminisme radikal, Audre Lorde, misalnya, dengan statemennya yang terkenal the master’s tool will never dismantle the master’s house bahwa senjata tuan tidak mungkin mengobrak-abrik rumah tuannya sendiri meragukan bahwa perjuangan dari dalam lembaga dan sistem akan berhasil karena sistem yang dibangun sekarang, termasuk institusi keluarga, sudah terlanjur dipegang erat oleh cara pandang patriarkhi. Cara pandang seperti ini tentu tidak bisa berlaku bagi keluarga muslim karena muslim tetap memandang keluarga sebagai institusi yang penting. Apa yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat institusi keluarga. Bukan dengan menjauhkan relasi keluarga dari isu gender tetapi bagaimana isu gender ini lebih memperkuat posisi ini sehingga solusinya bukan ibarat membakar gudang karena ingin mengusir tikus tapi bagaimana gudang itu dibangun agar tikus tidak betah di dalamnya.
5. Konteks NTB dan Sasak. Sudah bukan rahasia lagi, kondisi sosial di NTB yang benyak terkait dengan hukum keluarga menjadi berita dan targt pmberdayaan yang seolah tidak berujung. Sebut saja misalnya, isu kawin cerai, poligami liar, nikah di bawah tangan, tingginya kematian ibu dan bayi, tingginya tingkat buta huruf, yang dalam banyak kasus masalah-masalah tersebut menjadi penyumbang bagi rendahnya kualitas masyarakat.
Masalah-masalah tersebut di atas sangat erat terkait dengan cara pandang masyarakat terhadap posisi perempuan dan relasi gender. Sayangnya, isu perempuan belum menjadi isu prioritas dan belum dijadikan perspektif yang terintegrasi dalam kebijakan pembangunan keluarga maupun pembangunan dalam arti umun di NTB. Padahal, isu perempuan yang melahirkan diskriminasi di segala bidang yang lalu terwujud pada masalah-masalah tersebut di atas, diakui atau tidak, telah menyumbang bagi rendahnya kualitas manusia dan kehidupan di NTB sehingga Indeks Prestasi Manusia (IPM) NTB harus puas berada di urutan ke 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Ironis memang!
Kondisi ini tentu tidak hanya cukup diratapi apalagi dicarikan kambing hitamnya semisal dengan menyalahkan alat ukur yang digunakan. Harus ada langkah sistematis dan komprehensif dalam menyiapkan kualitas masyarakat yang dimulai dari lembaga keluarga. Keluarga perlu terdemokratisasi langkah-langkah besar yang bersinergi dengan pembangunan regional maupun global perlu dimulai dari keluarga. Kalau itu pilihannya maka tidak ada cara lain kecuali menjadikan keluarga dan hukum keluarga sebagai pengatur dan pendobrak sistem patriarkhi untuk menciptakan relasi gender yang lebih setara. Upaya itu harus dimulai sekarang dan oleh kita!

Peran PSW IAIN Mataram
Semua orang tentu punya cara sendiri-sendiri untuk memperjuangkan titik temu dan integrasi hukum keluarga dan perspektif gender berdasarkan peran dan tanggungjawab masing-masing. Praktisi pengadilan agama seperti hakim misalnya, perlu membekali diri dengan cara pandang kritis dan tidak biasa dalam menangani perkara-perkara hukum keluarga yang diajukan kepada mereka. Pegawai kantor KUA yang menangani masalah perkawinan juga perlu mendalami perspektif ini agar dapat menjalankan tugas mereka dengan baik di tengah dominasi budaya patriarkhi dalam relasi keluarga muslim NTB sebagaimana terpapar di atas. Singkatnya, setiap orang atau lembaga bisa saja berkontribusi pada upaya ini berdasarkan cara mereka masing-masing. Lalu pertanyaannya, apa peran PSW IAIN Mataram dalam hal ini?
Peran PSW IAIN Mataram tentu sangat strategis. Keberadaan Pusat Studi Wanita sebagai bagian integral dari lembaga pendidikan tinggi agama negeri memberikan kesempatan besar bagi upaya PSW mengintegrasikan perspektif gender dalam cara pandang akademik melalui berbagai kegiatan, baik secara formal maupun secara tidak formal. Secara formal, katakanlah misalnya dengan memasukkan perspektif gender dalam kurikulum. Hal ini sebenarnya sudah tampak di fakultas Syari’ah jurusan Ahwal al Syaksyiyyah dengan mata kuliah Fiqh an Nisa dan pada fakultas Dakwah dengan mata kuliah Pengantar Gender. Ini adalah langkah awal yang strategis. Secara informal misalnya, PSW bisa melibatkan civitas akademika baik dosen, karyawan, maupun mahasiswa dalam mengenali isu kesetaraan dan menekankan titik penting dimulainya isu ini dari diri sendiri dan keluarga. Pada saatnya, ketika kesadaran ini benar-benar terbangun dan menjadi misi bersama, upaya menanamkan isu kesetaraan pada ranah-ranah yang lain misalnya isu kekuasaan dan kepemimpinan dalam skala yang lebih luas, akan lebih terbuka jalannya.
Keberadaan fakultas Syari’ah dengan jurusan Ahwal al Syakhsiyyah (AS) nya menjadi suntikan energi tambahan bagi PSW untuk semakin mengintegrasikan keilmuan hukum keluarga dan perspektif gender sebagimana yang menjadi fokus penyampaian tulisan ini. Lebih-lebih pada tahun ini, IAIN telah mulai membuka angkatan perdana program Pascasarjana yang salah satu prodinya adalah Ahwal al Syakhsiyyah. Jika PSW mempunyai misi yang jelas untuk memulai perjuangan kesetaraan dan menanamkan kesadaran gender ini secara sistematis dimulai dari skala keluarga, maka keberadaan prodi ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi keberhasilan PSW pada khususnya dan IAIN sendiri pada umumnya. PSW harus berkontribusi dan IAIN harus membuktikan langkah-langkah sistematis dan efektif untuk mencetak magister yang tidak hanya kaya akan pandangan normatif tentang hukum keluarga tetapi trampil membumikan pandangan itu disertai dengan sikap kritis dan tekad mengabdikan ilmu untuk menjawab problem keluarga Muslim di NTB.
Demikian pula jurusan AS pada tingkat sarjana maupun pascasarjana harus mempunyai visi dan misi yang jelas juga untuk membawa lulusannya kemana. Visi dan misi ini harus dibreakdown dari kebutuhan umat sekitar sehingga program pendidikan apapun namanya itu tidak terpisah dari permasalahan masyarakat dan hanya menjadi menara gading para intelektual. Program akademik layaknya menjadi pemecah kebuntuan dan memberikan sumbangsih yang nyata bagi problem keumatan yg nyata pula. Kalau visi dan misi itu sudah jelas, PSW dan jurusan AS bisa bekerjasama, bertukar pikiran, dan membawa IAIN ini menjadi memiliki sesuatu yang khusus dan plus untuk ditawarkan kepada masyarakat luas.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa perspektif gender hanya penting untuk jurusan AS. Sebagai sebuah perspektif yang menyentuh cross-cutting issues persplektif dan analisis ini bisa memasuki spesifikasi keilmuan apa saja. Hanya saja perspektif tersebut menemukan arti yang lebih penting pada hukum keluarga dengan konteks kekinian dan kedisinian kita berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas.
Sudah saatnya PSW tidak hanya berkutat pada wacana dan langkah-langkah yang belum tertata secara sistematis dengan orientasi proyek. PSW perlu memperkuat diri untuk mengenali isu-isu strategis di mulai dari dalam institusi sendiri. PSW juga perlu memiliki langkah-langkah yang sistematis dan target capaian yang jelas dalam kegiatan dan programnya. Tulisan ini hanya satu dari alternatif-alternatif yang bisa didiskusikan lebih lanjut oleh PSW untuk segera memulai gerakan pemberdayaan dan penanaman kesadaran gender dengan langkah sistematis dan indikator pencapaian yang jelas. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan diskusi yang intens!

Secercah Harapan Bagi Perempuan NTB (Refleksi Hari Ibu 22 Desember 2008)

Minggu yang lalu selama dua hari berturut-turut (Kamis dan Jum’at /18-19 Desember 2008), harian ini (Lombok Post) memuat dua hasil penelitian yang saya kira sangat luar biasa dari siswi-siswi SMA di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Yang pertama mengungkap fakta bahwa prestasi perempuan di dunia pendidikan ternyata lebih unggul daripada laki laki. Penelitian yang kedua menemukan bahwa sya’ir cilokaq (nyanyian tradisional lombok) banyak yang kurang mendidik karena sya’ir cilokaq seringkali mendiskreditkan sosok perempuan. Ironisnya dalam tradisi Sasak sya’ir tersebut berkontribusi besar bagi pembentukan citra diri/ kesan terhadap citra diri perempuan secara turun temurun.
Kemunculan hasil penelitian dua srikandi muda ini menarik paling tidak karena tiga hal: Pertama, karya ini muncul dari generasi muda yang memang menjadi tumpuan bagi transformasi sosial setelah sekian lama kuat berakarnya pemahaman dan ideologi masyarakat bahwa perempuan sejati adalah perempuan yang bersedia mengalah atau ”kalah” dari laki-laki. Kedua, realitas bahwa munculnya kesadaran akan potensi perempuan dari pihak perempuan sendiri merupakan angin segar bagi terwujudnya perjuangan pemberdayaan perempuan ke arah yang lebih strategis. Kesadaran yang tumbuh dari dalam sebagaimana terlihat pada dua orang pemudi tersebut merupakan potensi besar ketika banyak perempuan lain (apalagi) generasi muda yang belum berhasil menemukan jati diri mereka sendiri. Ketiga, kesadaran ini muncul dari generasi mudi Sasak di tengah terpojoknya perempuan Sasak yang selama ini selalu menjadi obyek proyek karena begitu banyaknya isu ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki di daerah ini. Isu trafficking, rendahnya perlindungan hukum bagi perempuan, lemahnya posisi tawar perempuan di segala lini, tingginya angka kematian ibu dan bayi adalah di antara banyak deretan permasalahan akibat problem relasi gender yang menghinggapi kehidupan sosial masyarakat Sasak. Oleh karena itu, karya dua generasi mudi ini adalah secercah harapan bagi perubahan paradigma masyarakat yang memang tumbuh secara sadar dari masyarakat itu sendiri.
Secercah harapan ini mungkin bisa menjadi harapan besar ketika sekarang banyak pihak yang, paling tidak, sudah menjanjikan perubahan dan harapan baik bagi upaya pemberdayaan perempuan. Dari pihak eksekutif misalnya, kemunculan gubernur baru yang masih muda yang berlatarbelakang tuan guru dengan keberanian menyuratkan secara tegas visi kesetaraan gender pada janji politiknya merupakan incredible support bagi berkembangnya kesadaran gender. Beliau juga berani mengangkat kuota perempuan yang menduduki jabatan kepala dinas menjadi enam orang setelah sekian lama termarginalnya perempuan dari kursi penting birokrasi. Kantor pemberdayaan perempuan juga sekarang menjadi kantor yaang berdiri sendiri setelah sebelumnya menjadi underbow dari dinas atau instansi lain. Pada wilayah legislatif quota 30 porsen menjanjikan perubahan yang baik bagi keterwakilan perempuan. Partai-partai politik juga getol mencari perhatian rakyat dengan menempatkan perempuan pada nomor-nomor yang menjanjikan.
Selain dukungan struktural sebagaimana tersebut di atas kesadaran masyarakat secara kultural terhadap isu gender juga sedikit berkembang walaupun belum pada taraf yang sangat memuaskan. Beberapa teman perempuan yang sekarang sedang getol kampanye untuk caleg menemukan respons masyarakat yang menggembirakan bagi keterlibatan perempuan pada dunia politik. Kalau sebelumnya masih banyak generasi tua maupun muda yang sinis bahkan menolak mentah-mentah keterlibatan perempuan di dunia yang merupakan “dunia laki-laki” ini, masyarakat sekarang banyak memandang bahwa calon legislatif perempuan menawarkan harapan baru yang menjanjikan kehidupan yang mudah-mudahan lebih baik setelah sekian lama kekuasaan dipegang oleh jenis kelamin lain yang nyata-nyata telah banyak gagal bagi kesejahteraan masyarakat.
Adanya dukungan struktural maupun kultural untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia publik sebagaimana tersebut di atas tentu tidak harus membuat perempuan atau kita semua terjebak pada hingar bingar wacana bahwa perempuan yang terberdayakan mesti menjadi perempuan karier, perempun yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Isu keterlibatan perempuan di dalam rumah (domestik) maupun diluar rumah (publik) sesungguhnya bukan merupakan substansi permasalahan pada upaya pemberdayaan perempuan. Perempuan yang terberdayakan tidak bisa dinilai hanya berdasarkan posisi dimana dia berkiprah tetapi apakah 4 kata kunci dalam upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri yaitu Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat (APKM) dapat perempuan peroleh di manapun mereka berada. Dengan cara pandang seperti ini para pihak yang terlibat dalam isu pemberdayaan perempuan ini hendaknya bisa menjembatani dan memfasilitasi seluruh perempuan dengan latar belakang yang berbeda.Target perjuangan bukan pada similarities approach tetapi lebih pada different approach dalam pengertian pemberdayaan perempuan tidak ditujukan untuk menyamakan semua perempuan tetapi bagaimana perempuan dapat diberdayakan sesuai dengan perbedaan kecenderungan, status sosial, dan permasalahan yang dihadapi.
Seorang ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga tidak bisa serta merta dianggap sebagai perempuan yang tidak diberdayakan selama ia dapat menikmati akses, dan partisipasi yang jelas dan proporsional, serta kontrol dan manfaat bagi kehidupan pribadi maupun sosialnya. Sebaliknya isu pemberdayaan perempuan dengan hanya mengangkat kuota keterwakilan, menempatkan perempuan menjadi kepala dinas, dan mendorong perempuan untuk ke luar rumah tentu tidak bisa bermakna dan menjanjikan apa apa selama prinsip-prinsip pemberdayaan (APKM) tersebut tidak dapat mereka peroleh sesuai dengan posisinya.
Tanpa APKM, pemberdayaan perempuan hanya upaya artifisial yang bersifat sesaat tanpa kedalaman makna dan kejelasan substansi bagi perjuangan membangun perempun itu sendiri.Dengan mememperjuangkan APKM yang proporsional bagi semua perempuan kita bisa memberikan difersifikasi peran bagi perempuan sehingga upaya mengangkat derajat perempuan itu sebenarnya merupakan sebuah koalisi warna-warni yang bisa diupayakan oleh siapa saja dan menjadi apa saja. Seorang ibu rumah tangga bisa menikmati hak-haknya sebagai perempuan selayaknya. Demikian pula perempuan yang memilih untuk berkiprah di luar rumah bisa memanfaatkan potensi dan posisinya sebagaimana seharusnya.

Senin, 22 November 2010

Putri Mandalika dan Perjuangan Moral Caleg Perempuan

Malam Minggu 14 Februari 2009, masyarakat Sasak, khususnya di Lombok Tengah, beramai-ramai ke Pantai Kute untuk menyambut munculnya nyale. Nyale adalah sejenis cacing laut yang bisa disantap lezat yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai jelmaan Putri Mandalika yang beratus-ratus tahun yang lalu menyeburkan diri di pantai tersebut.
Legenda Putri Mandalika ini sangat popular di kalangan masyarakat Sasak. Ia adalah putri seorang raja yang luar biasa cantiknya. Karena kecantikannya yang tersohor kemana-mana, banyak pangeran dari kerajaan tetangga yang ingin mempersuntingnya. Putri Mandalika sulit memilih. Pangeran-pangeran itu ingin bersaing dengan berlaga mengadu digdaya ilmu kanoragan. Siapa yang keluar jadi pemenang maka dialah yang berhak mendampingi putri Mandalika. Putri Mandalika tidak setuju dengan aturan main itu. Ia lalu berkeputusan untuk menceburkan dirinya ke laut untuk menghindari jatuhnya korban demi memperebutkannya.
Terlepas dari valid atau tidaknya cerita tersebut, paling tidak ada dua pesan moral yang bisa diteladani dari kisah ini. Pertama, Putri Mandalika adalah potret dari seorang perempuan yang benar-benar menjadi lilin. Ia sanggup mengorbankan dirinya untuk kebaikan orang lain. Dia rela menceburkan dirinya ke laut agar ia tidak menjadi sumber konflik yang mengakibatkan perseteruan dan perpecahan bagi rakyatnya. Ia merupakan gambaran citra perempuan sejati yang pernah didefinisikan oleh Martha C. Nussbaum dalam bukunya Sex and Social Justice ”who always be the mean and is not the end” (seseorang yang selalu menjadi perantara bagi kebaikan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri).
Kedua, Putri Mandalika telah menunjukkan penentangannya yang sangat keras terhadap budaya kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Pada titik ini, putri Mandalika menunjukkan nilai femininitasnya yang tidak memberikan dukungan terhadap kekerasan dan konflik dan cinta terhadap kelembutan dan perdamaian.
Dua ”moral of the story” yang terkandung dalam legenda Putri Mandalika tersebut di atas selayaknya menjadi titik tolak dan dasar pijakan bagi niat para aktifis perempuan yang tengah merebut posisi caleg saat ini. Dengan telah terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk menjadi anggota legislatif sampai dengan 30 % dan dianutnya sistem suara terbanyak bagi penentuan anggota legislatif, secara struktural-formal, perjuangan caleg perempuan sesungguhnya tidak banyak kendala.
Selanjutnya yang harus dipikirkan oleh caleg perempuan sekarang adalah bagaimana menuai kepercayaan rakyat. Bagaimana memposisikan diri menjadi ”ratu adil” yang dinanti-nanti oleh rakyat. Niat untuk menjadi wakil rakyat seharusnya tidak menjadi niat jangka pendek yang hanya ingin meraup hal-hal yang artifisial semacam jabatan dan keuntungan materi. Yang paling strategis untuk dipikirkan oleh para caleg perempuan saat ini adalah bagaimana membuktikan bahwa seorang perempuan memang punya kualitas moral dan kapasitas personal untuk, bersama-sama dengan kaum laki-laki, membawa kehidupan beragama dan bermasyarakat di negeri ini menjadi lebih baik.
Kami sebagai rakyat biasa sangat berharap, kelak para anggota legislatif perempuan ini betul betul mampu menawarkan warna baru bagi sepak terjang politik anggota legislatif. Sepak terjang politik yang menjunjung tinggi moral adiluhung dan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Politik yang mengedepankan kejujuran dan kompetisi yang sehat. Politik yang menghindarkan budaya sikut-sikutan dan permainan kotor. Politik yang tidak mengorbankan rakyat hanya demi kepentingan partai dan golongan. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti dari signifikansinya keterwakilan perempuan di ranah politik.
Semoga caleg-caleg perempuan menjadi wakil rakyat yang betul-betul mampu menempatkan diri sebagaimana mestinya. Yang mampu berkorban demi orang yang diwakilinya.Yang tidak melupakan rakyat yang memilihnya karena gaji besar, rumah atau mobil dinas yang menjadi lambang kemewahan anggota legislatif.
Wakil rakyat perempuan, bersama-sama dengan wakil rakyat laki-laki, semoga mengedepankan budaya perdamaian dan kelembutan daripada cara kekerasan dan konflik dalam menyelesaikan masalah.
Dengan berperilaku politik yang baik, para anggota legislatif perempuan akan bisa meyakinkan rakyat untuk lebih meningkatkan kepercayaanya pada keterwakilan mereka. Dengan demikian, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif akan bisa ditingkatkan dan berkeinambungan serta mampu memberikan keuntungan bagi rakyat secara terus menerus. Sekarang perjuangan para caleg perempuan ini harus diniatkan sebagai perjuangan moral yang memerlukan pengorbanan demi pencapaian yang lebih besar dan berlanjut di masa yang akan datang sebagaimana pengorbanan Putri Mandalika yang tiap tahun masih datang berwujud Nyale untuk mengunjungi rakyat dicintainya. Tanpa itu semua, perjuangan panjang dan melelahkan para aktifis perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tidak berarti apa-apa

Agresi Israel dan Agenda Feminisme

Beberapa saat yang lalu saya menghadiri seminar sehari yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMM (Universitas Muhammadiyah Mataram) dengan ICRC (International Commitee of Red Cross), sebuah organisasi international yang salah satunya menangani International Humanitarian Law (Hukum Kemanusiaan Internasional). Tema penting yang dibahas ketika itu adalah kode etik peperangan antara lain tentang ketidakbolehan pihak-pihak yang terlibat perang menyerang mereka yang tidak bersenjata dan dianggap “lemah” seperti kaum sipil, anak-anak, dan perempuan.

Diskusi tersebut cukup menarik karena banyaknya pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan atas efektifitas aturan tersebut di hadapan arogansi atau kemandulan dewan keamanan PBB yang tentu punya vested-interest dalam menangani permasalahan kemanusiaan maupun peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Beberapa minggu setelah diskusi tersebut, berbagai problem yang dipertanyakan saat itu menjadi kenyataan. Sekarang setelah lebih kurang 10 hari terjadi agresi militer Israel terhadap Palestina, belum ada titik terang kemana konflik tersebut akan menepi. Semakin banyak korban berjatuhan termasuk kaum sipil, anak-anak, dan kaum perempuan yang secara tegas dinyatakan oleh aturan tentang peperangan tersebut sebagai pihak yang tidak boleh menjadi korban apapun alasannya.

Di tanah air muncul protes dan demonstrasi di mana-mana menuntut keadilan terhadap Palestina. Yang menarik bagi saya, dari sekian aksi demo tersebut adalah munculnya aksi dari murid-murid TK al-Falah Surabaya yang berani ‘menyentil’ Kak Seto karena Kak Seto tidak bergeming dengan aksi kekerasan yang nyata-nyata banyak mengorbankan anak (Trans TV, 5 Januari 2008).

Aksi demo anak-anak ini sangat mengetuk hati. Menyaksikan mereka saya merasa bangga sekaligus malu. Saya bangga karena ternyata generasi muda sedini mereka sudah punya empati kemanusiaan yang cukup tinggi. Istimewanya mereka berani mengingatkan ”orang penting” seperti Kak Seto agar ikut peduli karena selama ini Kak Seto memang sangat terlibat dengan kepentingan anak. Bahkan, akhir-akhir ini, dengan beraninya beliau mengusulkan kepada MUI untuk meninjau hukum merokok dengan dalih keselamatan generasi (anak-anak) atas bahaya merokok. Akan tetapi, saya juga merasa malu karena selama agresi militer ini, sepanjang pengetahuan saya, belum ada organisasi yang mengatasnamakan kepentingan dan pemberdayaan perempuan (kaum feminis) yang ikut terjun dan berani menyatakan sikap serta menyentil orang-orang berpengaruh untuk mengutuk kekerasan Israel terhadap perempuan di Jalur Gaza Palestina sebagaimana yang dilakukan anak-anak al-Falah tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan akibat kejahatan perang ini sebenarnya merupakan isu strategis bagi organisasi dan para pemerhati perempuan. Melibatkan diri pada isu ini, menurut saya, akan sangat strategis bagi upaya menunjukkan kepada dunia bahwa gerakan feminis bukan gerakan perempuan yang menuntut kebebasan belaka, bukan pula gerakan yang ingin mengaburkan makna agama dan kemapanan tradisi, sebagaimana diasumsikan banyak orang, tetapi benar-benar sebuah gerakan luhur yang sangat peduli terhadap penindasan kemanusiaan.

Kalau selama ini para feminis memang sangat getol menyoal kekerasan terhadap perempuan dalam hukum misalnya dengan memprotes habis UU Pornografi Pornoaksi, menolak KDRT misalnya dengan berhasil menggolkan UU KDRT dan lain sebagainya, maka saatnya para feminis segera turun untuk mengambil sikap terhadap kekerasan perempuan di sana (di Palestina) atas kebiadaban Israel dan di manapun terjadinya. Apapun strategi, metode, upaya yang bisa menarik perempuan dari segala bentuk kebiadaban perlu diformulasikan bersama dan diperjuangkan untuk memastikan bahwa gerakan feminis senyatanya merupakan gerakan yang hadir untuk kemaslahatan perempuan khususnya dan relasi kemanusiaan yang lebih baik pada umumnya. Barangkali kita memang harus lebih banyak menimba semangat dan nilai kemanusiaan bagi gerakan, bahkan dari anak-anak al-Falah itu.

Banggaku Menjadi Orang Bima

Bima memang sebuah kota terpencil yang hanya bisa dicapai lewat jalan berkelok-kelok, menembus hutan menyebrangi lautan, menaiki bukit dan gunung melewati jurang terjal. Kondisi daerahnyapun panas dan berdebu. Tata kotanya jauh dari kesan kerapian. Rakyatnya dikenal berwatak keras, tidak gampang berkompromi dan suka bicara apa adanya. Tidak ada tempat wisata yang membanggakan di kota ini, bukan karena tidak indahnya landscape dan panoramanya, tetapi karena masih kurangnya tangan2 trampil yang mau menyulap kota ini menjadi sebuah kota impian. Tidak! Itu semua tidak pernah menyurutkan perasaan banggaku menjadi orang Bima. Dou Mbojo Sejati! Di balik itu semua, Bima menyimpan kearifan lokal yang jarang dipunyai oleh daerah lain.

a. Keberagamaan
Manusia Bima adalah manusia yang religius dan fanatik. Bisa dikatakan, orang Bima yang sejati pasti ta’at menjalankan ajaran agamanya. Ajaran agama yang kaffah yang tidak hanya menyentuh wilayah Iman, tapi juga Islam dan Ihsan. Orang Bima juga sangat inklusif terhadap perbedaan, baik interen beragama maupun antar umat beragama. Berbagai macam pemahaman bisa hidup berdampingan tanpa harus saling memusuhi. Mereka bisa mempunyai satu mesjid yang melakukan tarawih dengan dua macam jumlah rakaat dan mereka tetap menghargai satu sama lain. Pura dan masjid bisa berdekatan tanpa terjadinya konflik yang berarti. Tokoh agama dari kalangan NU, Muhammadiyyah maupun Parsis bisa berjuang bersama-sama dengan tidak mempermasalahkan background pemahaman fiqh mereka yang berbeda. Kalaupun ada konflik, itu hanya kecil-kecilan dan lebih merupakan konflik wacana yang bisa diselesaikan dengan diskusi secara imiah dan dewasa. Kepada masyarakat pendatang yang berbeda agama pun, masyarakat Bima sangat menghormati. Pendatang dari Timur yang beragama Kristen, pendatang dari Bali yang beragama Hindu, maupun etnis China dan Tionghoa bisa bebas menjalankan ajaran agamanya di sini. Ketika terjadi pembakaran saat haru biru reformasi terhadap toko2 etnis China, isu yang mendasari bukan agama tetapi lebih kepada kecemburuan sosial dan ekonomi antara masyarakat pribumi Bima dan etnis China. Semoga ini tidak terjadi lagi.
Kefanatikan orang Bima bukanlah kefanatikan yang membabi buta; adalah benar jika mereka sangat anti terhadap program2 yang berbau kristenisasi, mereka rela lapar dan tidak gampang menggadaikan ke’miskin’annya terhadap program2 berkedok bantuan. Tapi mereka juga sangat open utk diajak berdiskusi secara persuasif. Mereka punya kecerdasan emosional yang tinggi yang mampu menerapkan lakum dinukum waliya din.
Mereka juga sangat open terhadap isu modernisasi. Tingkat adaptabilitynya sangat tinggi. Pada titik tertentu, ini kemudian juga berpotensi negatif bagi pelestarian budaya genuine Bima yang Islami. Karena sangat open terhadap pengaruh luar yang mengklaim diri modern ini pulalah, anak2 muda Bima sekarang banyak yang telah menggunakan suara merdunya utk berkaroke dangdut ketimbang melatunkan ayat2 suci, kelenturan tubuhnya utk berjoget ala inul ketimbang mempelajari tarian budaya khas Bima semacam tari lenggo, wura bongi monca dan lain. Anak muda laki-lakinya lebih senang bergerombolan di deker menggoda cewek2 yang lewat dari pada mempunyai kegiatan yang konstruktif semisal menjadi remaja mesjid dan mempelajari seni2 tradisional Bima semacam ntumbu tuta, buja kadanda, ndiri biola dan Patu. Mereka bilang “itu kuno.” Sejatinya orang Bima hendaklah mampu menerima perubahan tetapi tidak sampai meninggalkan identitas budaya dan keagamaan. Fanatik tapi tidak munafik.

b. Kejujuran
Stereotype terhadap orang Bima sebagai orang yang berwatak keras dan tidak mau kompromi bisa jadi benar. Selain mungkin karena pengaruh alam dan kondisi kehidupan yang keras, sikap ini juga sebenarnya didasari oleh pilihan utk mau mengatakan apa adanya. Orang Bima adalah orang yang jujur dan ceplas-ceplos. Mereka tidak bisa berpura-pura baik di depan lalu menusuk dari belakang sebagaimana budaya daerah2 bagian barat Indonesia. Mereka tidak bisa melakukan sesuatu hanya karena ABS (asal bapak senang). Mereka lebih memilih utk dikucilkan dalam percaturan apa saja ketimbang harus munafik dan membohongi dirinya sendiri. Qullil haqqa walau kana murran benar2 menjadi pijakan bagi perilaku masyarakat Bima. Bagi mereka hanya kejujuran yang bisa membuat hidup mereka lebih bahagia. Kebohongan sebenarnya tidak hanya mengorbankan orang lain tetapi juga mengorbankan diri sendiri. Bagi mereka kata hati tidak pernah dusta dan mereka ingin mulut mereka sejalan dengan hatinya. Sejatinya orang Bima pasti menjunjung tinggi kejujuran.

c. Kebersamaan
Entah memang benar atau tidak, orang Bima adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa berkelompok dan bergerombolan. Kebiasaan ini terbawa-bawa sampai mereka pergi merantau. Konon, menurut pantauan beberapa orang teman, perantau dari Bima pasti membangun rumah besar di daerah perantauannya karena memang sengaja utk disediakan bagi keluarga2 yang tidak henti-hentinya datang. Tidak hanya keluarga yang sedarah dan masih dekat, asal Bima saja sudah cukup bisa menjadi ticket masuk bertamu pada rumah orang Bima di perntauan
Ada joke yang berkembang yang menggambarkan perbedaan Budaya masyarakat Lombok, Sumbawa, dan Bima. Konon kalau suku Sasak ke daerah mana saja, yang pertama kali di cari adalah warung kopi karena begitu attached-nya mereka dengan kopi, suku Samawa selalu menacari toilet dan cermin karena mereka sangat memperhatikan penampilan sementara suku Mbojo pasti mencari wartel utk menghubungi saudara2 atau orang Bima lainnya yang bisa jadi tumpangan. Real atau fiksi joke tersebut, tapi sejatinya orang Bima adalah orang yang ikut menderita di saat saudara menderita dan berbahagia di saat teman bahagia.

d. Pendidikan
Suatu saat teman bertanya: “kenapa kebanyakan orang Bima yang pergi haji sudah tua-tua? ” Saya sendiri gak sempat berpikir ttg itu. Yang saya tau selintas, mungkin ketika itulah mereka bisa mendapatkan sejumlah uang utk membiayai perjalanan mereka. Yah.. tapi mengapa mereka baru mendapatkannya? Saya yakin karena bagi orang Bima berangkat haji ibarat rukun Islam yang ke-enam. Lho? Saya tidak bermaksud menambah rukun Islam menjadi enam rukun. Tapi memang bagi orang Bima pendidikan anak sangat penting. Mereka tidak buru2 ingin berangkat haji sebelum mampu mengantar anaknya ke pintu gerbang kesuksesan. Paling tidak setelah semua anak2nya berhasil menamatkan pelajaranya. Mereka mempercayai bahwa haji hanya wajib bagi orang yang mampu tetapi pendidikan wajib dilakukan tanpa memandang kondisi ekonomi. Mendidik anak bagi mereka adalah sebuah ibadah yang sangat tidak terhingga pahalanya dan tidak akan terputus. Amal jariyah. Bagi mereka, haji hanyalah dinikmati oleh mereka sendiri sedangkan pendidikan anak dan keberhasilan anak mereka dinikmati oleh semua orang. Tidak ada artinya kalau orang tua sudah bertitel haji padahal pendidikan anak tidak terurus. Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak mau meninggalkan anak cucu dan generasi penerus dalam keadaan lemah.

e. Profesi
Pada umumnnya profesi orang Bima adalah Guru. Di daerah manapun di seluruh Indonesia, tidak sulit ditemukan guru yang berasal dari Bima. Di tengah maraknya keluh kesah ttg sedikitnya gaji guru dan kurangnya dihargai pahlawan tanpa tanda jasa ini, orang Bima tetap banyak yang berbulat hati menjadi guru. Guru bukan saja profesi yang bisa menghasilkan materi bagi mereka tetapi terutama mencetak generasi penerus dan menghasilkan berbagai profesi. Walaupun berasal dari latar belakang pendidikan non-tarbiyah (non –keguruan) banyak orang Bima yang tetap ingin jadi guru dengan mengambil akta 4. Mungkin benar, pilihan menjadi guru juga banyak dipengaruhi oleh kondisi daerah Bima yang masih minim menawarkan lapangan kerja bagi profesi lainnya, tapi saya kira pilihan ini tidak saja atas dasar itu tetapi juga atas dasar keluhuran budaya yang memang menjadikan pendidikan sebagai segalanya. Bagi mereka gaji guru yang sedikit tetap lebih berkah dibandingkan dengan gaji profesi yang lain yang lebih banyak. Juga bagi mereka dengan menjadi guru, sangat tertutup kemungkinan utk korupsi dan mengambil hak orang lain. Yah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak terutama menguntungkan materi tetapi pengabdian adalah di atas segalanya.

f. Pengabdian
Lihatlah orang Bima yang berada di mana-mana! Mereka tidak pernah merasa bahwa pengabdian harus dilakukan di tanah kelahirannya sendiri. Semua bumi ini adalah bumi Allah. Di manapun mereka berada pengabdian mutlak harus dilakuan dengan sepenuh hati. Sebagian orang yang berasal dari daerah tertentu di negeri ini sering kali berkeluh kesah ketika ditugaskan keluar dari daerahnya dan mengupayakan berbagai cara hanya utk bisa kembali bertugas ke daerah sendiri. Orang Bima tidaklah demikian. Mereka akan menganggap daerah rantauannya sama berartinya dengan daerahnya sendiri. Mereka tidak mau diskriminatif. Sayangnya sikap ini kemudian menjadi justifikasi bagi keengganan sebagian orang Bima utk kembali membangun daerah asalnya. Masih beruntung kalau dari jauh mereka mau memkirkan ttg Bima, mencari jalan keluar bagi terus terpuruknya Bima. Ironisnya, ada juga yang bahkan enggan kembali walaupun utk sekedar mengunjungi, naudzubillah! Mereka tidak ingat lagi bahwa rakyat daerah inilah yang melambaikan tangan ketika mereka merantau. Mulut2 orang tua di daerah inilah yang tak hentinya memanjatkan do’a bagi keberhasilan mereka. Tanah, air, pepohonan yang ada di daerah inilah yang ikut andil menjadikan mereka seperti itu . Saya seakan tertampar ketika suatu saat teman dari daerah lain saya ajak jalan2 ke Bima, melihat Sape sampai ke Parado, dia pun berkomentar: “tidak bisa dipercaya Bima bisa memiliki tokoh2 hebat bertaraf nasional dan internasional, tetapi lebih tidak bisa dipercaya lagi kondisi Bima masih seperti ini sementara tokoh2 yang dilahirkannya telah mampu memimpin dengan sukses di manapun mereka berada.” Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak pernah tercerabut dari akar kelahirannya.


g. Penghargaan terhadap perempuan
Budaya Bima menempatkan perempuan sebagai mahluk yang perlu mendapatkan perlakuan yang sama. Di Bima, upacara khitanan misalnya tidak saja berlaku utk laki-laki tetapi juga utk perempuan. Di beberapa daerah lain di Indonesia, misalnya, anak perempuan tidak pernah di ramaikan acara khitannya. Walaupun feminis Barat misalnya masih menganggap bahwa FGM (female genital mutilation) bertentangan dengan hak asasi dan merupakan kekerasan terhadap perempuan, pendapat itu hanya berlaku utk praktek pada sebagian negara Afrika yang memotong habis bagian tertentu pada alat vital perempuan agar mereka tidak bisa menikmati hubungan suami istri (baca: sex). Di Bima yang terjadi bukanlah FGM tetapi FGC (female genital circumscission). Hanya sedikit yang dipotong dan itupun justeru utk membersihkan dan menjadikannya lebih peka. Walaupun memang menurut hadits, sunatan bagi anak perempuan adalah sunnah, tetapi Di Bima upacaranya tetap sama meriahnya dengan upacara bagi anak laki-laki.Mungkin sebagian kita menganggap itu sesuatu yang taken for granted, tapi sebenarnya menurut hemat saya di balik itu terkandung sebuah perlakuan yang tidak pernah mebedakan anak laki dan anak perempuan. Dalam kadar dan masalah tertentu, laki-laki dan perempuan berhak utk mendapatkan perlakuan yang sama.
Di Bima juga kasus poligami dan kawin cerai tidak setinggi di daerah lain di NTB.. Tidak dapat dipungkiri poligami dan kawin cerai yang dipraktekkan dewasa ini lebih menjadikan perempuan sebagai korban. Poligami tidak lagi berdasar seperti yang dicontohkan oleh Rasul. Kawin cerai hanya merugikan pihak perempuan yang dalam banyak hal masih tergantung secara ekonomi kepada orang laki-laki. Di Bima, walaupun ada, kedua kasus itu tidaklah semarak di daerah yang merupakan tetangganya misalnya. Di suatu daerah di NTB misalnya, bahkan ada tradisi nikah setiap panen. Ketika mereka ingin menceraikan atau bercerai, cukup mengusir istri utk kembali ke rumah orang tuanya. Keterlibatan hukum negara yang mengharuskan cerai di depan pengadilan sangat minim. Masya allah,, beginikah pernikahan yang dianjurkan oleh agama Islam? Orang Bima tidak mungkin mau menjadikan perempuan hanya sebagai obyek. Begitulah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang mau menghargai perempuan.

Yah.. itulah nilai2 luhur yang dipunyai atau seharusnya masih dimiliki oleh orang Bima. Sebagian dari mereka masih mau mempertahankan nilai itu. Sebagian lagi tengah tergoda oleh perubahan dan menganggap nilai2 luhur yang dimiliki sebagai sesuatu yang out of date. Bagiku, banggaku menajdi orang Bima bukan saja dengan menjustifikasi diri sebagai pemilik budaya luhur tetapi juga mampu mepertahankan budaya itu dan mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Banggalah menjadi orang Bima dengan tetap memegang nilai2 luhur nenek moyang kita! Ke Bima aku akan kembali.