Senin, 22 November 2010

Banggaku Menjadi Orang Bima

Bima memang sebuah kota terpencil yang hanya bisa dicapai lewat jalan berkelok-kelok, menembus hutan menyebrangi lautan, menaiki bukit dan gunung melewati jurang terjal. Kondisi daerahnyapun panas dan berdebu. Tata kotanya jauh dari kesan kerapian. Rakyatnya dikenal berwatak keras, tidak gampang berkompromi dan suka bicara apa adanya. Tidak ada tempat wisata yang membanggakan di kota ini, bukan karena tidak indahnya landscape dan panoramanya, tetapi karena masih kurangnya tangan2 trampil yang mau menyulap kota ini menjadi sebuah kota impian. Tidak! Itu semua tidak pernah menyurutkan perasaan banggaku menjadi orang Bima. Dou Mbojo Sejati! Di balik itu semua, Bima menyimpan kearifan lokal yang jarang dipunyai oleh daerah lain.

a. Keberagamaan
Manusia Bima adalah manusia yang religius dan fanatik. Bisa dikatakan, orang Bima yang sejati pasti ta’at menjalankan ajaran agamanya. Ajaran agama yang kaffah yang tidak hanya menyentuh wilayah Iman, tapi juga Islam dan Ihsan. Orang Bima juga sangat inklusif terhadap perbedaan, baik interen beragama maupun antar umat beragama. Berbagai macam pemahaman bisa hidup berdampingan tanpa harus saling memusuhi. Mereka bisa mempunyai satu mesjid yang melakukan tarawih dengan dua macam jumlah rakaat dan mereka tetap menghargai satu sama lain. Pura dan masjid bisa berdekatan tanpa terjadinya konflik yang berarti. Tokoh agama dari kalangan NU, Muhammadiyyah maupun Parsis bisa berjuang bersama-sama dengan tidak mempermasalahkan background pemahaman fiqh mereka yang berbeda. Kalaupun ada konflik, itu hanya kecil-kecilan dan lebih merupakan konflik wacana yang bisa diselesaikan dengan diskusi secara imiah dan dewasa. Kepada masyarakat pendatang yang berbeda agama pun, masyarakat Bima sangat menghormati. Pendatang dari Timur yang beragama Kristen, pendatang dari Bali yang beragama Hindu, maupun etnis China dan Tionghoa bisa bebas menjalankan ajaran agamanya di sini. Ketika terjadi pembakaran saat haru biru reformasi terhadap toko2 etnis China, isu yang mendasari bukan agama tetapi lebih kepada kecemburuan sosial dan ekonomi antara masyarakat pribumi Bima dan etnis China. Semoga ini tidak terjadi lagi.
Kefanatikan orang Bima bukanlah kefanatikan yang membabi buta; adalah benar jika mereka sangat anti terhadap program2 yang berbau kristenisasi, mereka rela lapar dan tidak gampang menggadaikan ke’miskin’annya terhadap program2 berkedok bantuan. Tapi mereka juga sangat open utk diajak berdiskusi secara persuasif. Mereka punya kecerdasan emosional yang tinggi yang mampu menerapkan lakum dinukum waliya din.
Mereka juga sangat open terhadap isu modernisasi. Tingkat adaptabilitynya sangat tinggi. Pada titik tertentu, ini kemudian juga berpotensi negatif bagi pelestarian budaya genuine Bima yang Islami. Karena sangat open terhadap pengaruh luar yang mengklaim diri modern ini pulalah, anak2 muda Bima sekarang banyak yang telah menggunakan suara merdunya utk berkaroke dangdut ketimbang melatunkan ayat2 suci, kelenturan tubuhnya utk berjoget ala inul ketimbang mempelajari tarian budaya khas Bima semacam tari lenggo, wura bongi monca dan lain. Anak muda laki-lakinya lebih senang bergerombolan di deker menggoda cewek2 yang lewat dari pada mempunyai kegiatan yang konstruktif semisal menjadi remaja mesjid dan mempelajari seni2 tradisional Bima semacam ntumbu tuta, buja kadanda, ndiri biola dan Patu. Mereka bilang “itu kuno.” Sejatinya orang Bima hendaklah mampu menerima perubahan tetapi tidak sampai meninggalkan identitas budaya dan keagamaan. Fanatik tapi tidak munafik.

b. Kejujuran
Stereotype terhadap orang Bima sebagai orang yang berwatak keras dan tidak mau kompromi bisa jadi benar. Selain mungkin karena pengaruh alam dan kondisi kehidupan yang keras, sikap ini juga sebenarnya didasari oleh pilihan utk mau mengatakan apa adanya. Orang Bima adalah orang yang jujur dan ceplas-ceplos. Mereka tidak bisa berpura-pura baik di depan lalu menusuk dari belakang sebagaimana budaya daerah2 bagian barat Indonesia. Mereka tidak bisa melakukan sesuatu hanya karena ABS (asal bapak senang). Mereka lebih memilih utk dikucilkan dalam percaturan apa saja ketimbang harus munafik dan membohongi dirinya sendiri. Qullil haqqa walau kana murran benar2 menjadi pijakan bagi perilaku masyarakat Bima. Bagi mereka hanya kejujuran yang bisa membuat hidup mereka lebih bahagia. Kebohongan sebenarnya tidak hanya mengorbankan orang lain tetapi juga mengorbankan diri sendiri. Bagi mereka kata hati tidak pernah dusta dan mereka ingin mulut mereka sejalan dengan hatinya. Sejatinya orang Bima pasti menjunjung tinggi kejujuran.

c. Kebersamaan
Entah memang benar atau tidak, orang Bima adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa berkelompok dan bergerombolan. Kebiasaan ini terbawa-bawa sampai mereka pergi merantau. Konon, menurut pantauan beberapa orang teman, perantau dari Bima pasti membangun rumah besar di daerah perantauannya karena memang sengaja utk disediakan bagi keluarga2 yang tidak henti-hentinya datang. Tidak hanya keluarga yang sedarah dan masih dekat, asal Bima saja sudah cukup bisa menjadi ticket masuk bertamu pada rumah orang Bima di perntauan
Ada joke yang berkembang yang menggambarkan perbedaan Budaya masyarakat Lombok, Sumbawa, dan Bima. Konon kalau suku Sasak ke daerah mana saja, yang pertama kali di cari adalah warung kopi karena begitu attached-nya mereka dengan kopi, suku Samawa selalu menacari toilet dan cermin karena mereka sangat memperhatikan penampilan sementara suku Mbojo pasti mencari wartel utk menghubungi saudara2 atau orang Bima lainnya yang bisa jadi tumpangan. Real atau fiksi joke tersebut, tapi sejatinya orang Bima adalah orang yang ikut menderita di saat saudara menderita dan berbahagia di saat teman bahagia.

d. Pendidikan
Suatu saat teman bertanya: “kenapa kebanyakan orang Bima yang pergi haji sudah tua-tua? ” Saya sendiri gak sempat berpikir ttg itu. Yang saya tau selintas, mungkin ketika itulah mereka bisa mendapatkan sejumlah uang utk membiayai perjalanan mereka. Yah.. tapi mengapa mereka baru mendapatkannya? Saya yakin karena bagi orang Bima berangkat haji ibarat rukun Islam yang ke-enam. Lho? Saya tidak bermaksud menambah rukun Islam menjadi enam rukun. Tapi memang bagi orang Bima pendidikan anak sangat penting. Mereka tidak buru2 ingin berangkat haji sebelum mampu mengantar anaknya ke pintu gerbang kesuksesan. Paling tidak setelah semua anak2nya berhasil menamatkan pelajaranya. Mereka mempercayai bahwa haji hanya wajib bagi orang yang mampu tetapi pendidikan wajib dilakukan tanpa memandang kondisi ekonomi. Mendidik anak bagi mereka adalah sebuah ibadah yang sangat tidak terhingga pahalanya dan tidak akan terputus. Amal jariyah. Bagi mereka, haji hanyalah dinikmati oleh mereka sendiri sedangkan pendidikan anak dan keberhasilan anak mereka dinikmati oleh semua orang. Tidak ada artinya kalau orang tua sudah bertitel haji padahal pendidikan anak tidak terurus. Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak mau meninggalkan anak cucu dan generasi penerus dalam keadaan lemah.

e. Profesi
Pada umumnnya profesi orang Bima adalah Guru. Di daerah manapun di seluruh Indonesia, tidak sulit ditemukan guru yang berasal dari Bima. Di tengah maraknya keluh kesah ttg sedikitnya gaji guru dan kurangnya dihargai pahlawan tanpa tanda jasa ini, orang Bima tetap banyak yang berbulat hati menjadi guru. Guru bukan saja profesi yang bisa menghasilkan materi bagi mereka tetapi terutama mencetak generasi penerus dan menghasilkan berbagai profesi. Walaupun berasal dari latar belakang pendidikan non-tarbiyah (non –keguruan) banyak orang Bima yang tetap ingin jadi guru dengan mengambil akta 4. Mungkin benar, pilihan menjadi guru juga banyak dipengaruhi oleh kondisi daerah Bima yang masih minim menawarkan lapangan kerja bagi profesi lainnya, tapi saya kira pilihan ini tidak saja atas dasar itu tetapi juga atas dasar keluhuran budaya yang memang menjadikan pendidikan sebagai segalanya. Bagi mereka gaji guru yang sedikit tetap lebih berkah dibandingkan dengan gaji profesi yang lain yang lebih banyak. Juga bagi mereka dengan menjadi guru, sangat tertutup kemungkinan utk korupsi dan mengambil hak orang lain. Yah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak terutama menguntungkan materi tetapi pengabdian adalah di atas segalanya.

f. Pengabdian
Lihatlah orang Bima yang berada di mana-mana! Mereka tidak pernah merasa bahwa pengabdian harus dilakukan di tanah kelahirannya sendiri. Semua bumi ini adalah bumi Allah. Di manapun mereka berada pengabdian mutlak harus dilakuan dengan sepenuh hati. Sebagian orang yang berasal dari daerah tertentu di negeri ini sering kali berkeluh kesah ketika ditugaskan keluar dari daerahnya dan mengupayakan berbagai cara hanya utk bisa kembali bertugas ke daerah sendiri. Orang Bima tidaklah demikian. Mereka akan menganggap daerah rantauannya sama berartinya dengan daerahnya sendiri. Mereka tidak mau diskriminatif. Sayangnya sikap ini kemudian menjadi justifikasi bagi keengganan sebagian orang Bima utk kembali membangun daerah asalnya. Masih beruntung kalau dari jauh mereka mau memkirkan ttg Bima, mencari jalan keluar bagi terus terpuruknya Bima. Ironisnya, ada juga yang bahkan enggan kembali walaupun utk sekedar mengunjungi, naudzubillah! Mereka tidak ingat lagi bahwa rakyat daerah inilah yang melambaikan tangan ketika mereka merantau. Mulut2 orang tua di daerah inilah yang tak hentinya memanjatkan do’a bagi keberhasilan mereka. Tanah, air, pepohonan yang ada di daerah inilah yang ikut andil menjadikan mereka seperti itu . Saya seakan tertampar ketika suatu saat teman dari daerah lain saya ajak jalan2 ke Bima, melihat Sape sampai ke Parado, dia pun berkomentar: “tidak bisa dipercaya Bima bisa memiliki tokoh2 hebat bertaraf nasional dan internasional, tetapi lebih tidak bisa dipercaya lagi kondisi Bima masih seperti ini sementara tokoh2 yang dilahirkannya telah mampu memimpin dengan sukses di manapun mereka berada.” Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak pernah tercerabut dari akar kelahirannya.


g. Penghargaan terhadap perempuan
Budaya Bima menempatkan perempuan sebagai mahluk yang perlu mendapatkan perlakuan yang sama. Di Bima, upacara khitanan misalnya tidak saja berlaku utk laki-laki tetapi juga utk perempuan. Di beberapa daerah lain di Indonesia, misalnya, anak perempuan tidak pernah di ramaikan acara khitannya. Walaupun feminis Barat misalnya masih menganggap bahwa FGM (female genital mutilation) bertentangan dengan hak asasi dan merupakan kekerasan terhadap perempuan, pendapat itu hanya berlaku utk praktek pada sebagian negara Afrika yang memotong habis bagian tertentu pada alat vital perempuan agar mereka tidak bisa menikmati hubungan suami istri (baca: sex). Di Bima yang terjadi bukanlah FGM tetapi FGC (female genital circumscission). Hanya sedikit yang dipotong dan itupun justeru utk membersihkan dan menjadikannya lebih peka. Walaupun memang menurut hadits, sunatan bagi anak perempuan adalah sunnah, tetapi Di Bima upacaranya tetap sama meriahnya dengan upacara bagi anak laki-laki.Mungkin sebagian kita menganggap itu sesuatu yang taken for granted, tapi sebenarnya menurut hemat saya di balik itu terkandung sebuah perlakuan yang tidak pernah mebedakan anak laki dan anak perempuan. Dalam kadar dan masalah tertentu, laki-laki dan perempuan berhak utk mendapatkan perlakuan yang sama.
Di Bima juga kasus poligami dan kawin cerai tidak setinggi di daerah lain di NTB.. Tidak dapat dipungkiri poligami dan kawin cerai yang dipraktekkan dewasa ini lebih menjadikan perempuan sebagai korban. Poligami tidak lagi berdasar seperti yang dicontohkan oleh Rasul. Kawin cerai hanya merugikan pihak perempuan yang dalam banyak hal masih tergantung secara ekonomi kepada orang laki-laki. Di Bima, walaupun ada, kedua kasus itu tidaklah semarak di daerah yang merupakan tetangganya misalnya. Di suatu daerah di NTB misalnya, bahkan ada tradisi nikah setiap panen. Ketika mereka ingin menceraikan atau bercerai, cukup mengusir istri utk kembali ke rumah orang tuanya. Keterlibatan hukum negara yang mengharuskan cerai di depan pengadilan sangat minim. Masya allah,, beginikah pernikahan yang dianjurkan oleh agama Islam? Orang Bima tidak mungkin mau menjadikan perempuan hanya sebagai obyek. Begitulah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang mau menghargai perempuan.

Yah.. itulah nilai2 luhur yang dipunyai atau seharusnya masih dimiliki oleh orang Bima. Sebagian dari mereka masih mau mempertahankan nilai itu. Sebagian lagi tengah tergoda oleh perubahan dan menganggap nilai2 luhur yang dimiliki sebagai sesuatu yang out of date. Bagiku, banggaku menajdi orang Bima bukan saja dengan menjustifikasi diri sebagai pemilik budaya luhur tetapi juga mampu mepertahankan budaya itu dan mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Banggalah menjadi orang Bima dengan tetap memegang nilai2 luhur nenek moyang kita! Ke Bima aku akan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar