Kamis, 20 Maret 2014



Wali dan Abi are going to school

Merentang Tiga Benua

Saya, seorang anak desa, dari pelosok propinsi NTB, 'hanya' putri dari dua orang (ibu bapak) guru era lama yang hidup pas-pasan, tentu tidak pernah bercita-cita berada pada benua yang dulu, bagiku, hanya ada di dalam dongeng dan terlukis di atas peta dunia. Yang saya ingat, tanah Jawa saja begitu jauh dalam khayalan bagi akal beliaku. Untung, karena dorongan dari kakekku yang meyakinkan dan menguatkan hati orang tuaku, aku kemudian bisa menginjak tanah Jawa untuk nyantri. Nampaknya, sejak itulah jiwa 'petualang'ku bermula.

Praktis, saya menghabiskan usiaku di tanah kelahiran hanya sampai usia 13 tahun. Sejak 1990, saya meninggalkan tanah kelahiran menuju sebuah pondok pesantren di kota santri Jombang Jawa Timur. Sejak saat itu pula saya tidak pernah kembali mendiami tanah kelahiranku kecuali berkunjung atau hanya berlibur. Sesuatu yang sebenarnya menurut hati kecilku tidak pantas. Dan dengan perasaan bersalah itu, saya selalu bertekat suatu saat ingin kembali secara fisik tinggal dan mengabdi di tanah tumpah darah ku itu.

Sejak tahun itu, saya merantau di tanah Jawa selama hampir 10 tahun. Dari Jombang, setamat pesantren, pendidikanku dilanjutkan di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan saya menyelesaikannya selama 3,5 tahun atau 7 semester. Saat di Surabaya,saya sempat pula mengambil beberpa kali kursus di Pare Kediri jawa Timur. Selama di Jawa Timur itu, hampir semua daerah saya kunjungi biasanya atas ajakan teman teman mendatangi rumahnya karena merasa kasihan melihat saya tinggal di pondok, atau di kos untuk liburan yang hanya beberapa hari. Biasanya saya pulang ke kampung hanya sekali setahun ketika liburan panjang.
Berhasil memperoleh sarjana di IAIN Sunan Ampel, saya melanjutkan studi PascaSarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tahun 1998-2000) setelah sebelumnya sambil menunggu waktu pendaftaran (saya wisuda 1997) sempat memeperdalam bahasa Inggris kembali ke Pare.

Dua tahun di Yogya, walaupun singkat, adalah masa ketika saya benar benar memulai masa depan. Setahun setelah S2 pada semester 3 saya menikah dan berturut turut rejeki datang yang semakin memantapkan identitasku. Pada saat yang hampir bersamaan, 10 bulan pasca menikah, saya lulus sebagai tenaga pengajar di kampus yang sama di mana suami duluan bertugas (IAIN Mataram), lalu melahirkan anak pertamaku, lalu wisuda S2. Nikmat yang begitu berturut turut tetapi juga disertai dengan perjuangan yang maha berat.

Nah, dari sinilah, perjalananku mencari ilmu di beberapa negara di mulai. Setelah 4 tahun bertugas sebagai dosen dan mengampu mata kuliah Hukum Keluarga Islam, saya menyadari bahwa ada ilmu dan perspektif yang harus saya lengkapi untuk bisa memahami apa yang saya ajarkan kepada mahasiswa saya. Perspektif normatif keagamaan yang memang menjadi bakground keilmuanku selama ini rasanya tidak cukup untuk menjelaskan topik topin dalam konteks dinamika sosial yang begitu luar biasa cepat. Lalu saya memeutuskan untuk kuliah lagi dan ingin mengambil kembali S2 dalam bidang sosiologi hukum. Pertama kali mencoba melamar beasiswa Ausaid dan ingin langsung mengambil S3 saya gagal di tahap interview. Untuk tahun kedua saya mencoba lagi dua beasiswa yaitu Ausaid tetapi kembali mencoba keberuntungan mengambil S2 dan juga Fulbright untuk program S2 juga. Keberuntungan lagi berpihak, maka saya lulus dua beasiwa tersebut dan diharuskan memilih salah satu. Saya sebenarnya ingin memilih ke Australia, dengan beasiswa Ausaid tetapi atas masukan beberapa pimpinan kampusku waktu itu, aku dinasehatin untuk pergi ke Amerika. Akhirnya saya memutuskan untuk ke Amerika dengan beasiswa Fulbrigh dari tahun 2004-2006. tetapi dalam hati aku bertekad, bahwa suatu saat aku harus juga menempuh pendidikan di Australia. Ini hanya tertunda, tetapi tidak menutup kesempatan.

Alhamdulillah, pada tahun 2011, aku berhasil mendapatkan beasiswa ALA (Australian Leadership Awards) dengan tambahana award lainnya yang disebut ASA (ALison Sudradjat Award) utuk the best four dari 16 awards recipient terpilih pada tahun 2011 untuk intake 2012. Sebenarnya pada saat yang sama, keberuntungan tahun 2004 terulang lagi karena saya juga mendapatkan beasiswa DIKTI tetapi harus memilih salah satu dan saya putuskan untuk memilih ALA. Tetapi keberhasilan itu juga diawali dengan kegagalan karena 2 tahun sebelumnya saya sempat melamar beasiswa dua kali. Yang pertama gagal sejak di administrasi, dan yang kedua gagal pada tahap interview. Tetapi dua tahun kegagalan itu ternyata dikumpulkan oleh Allah dan diberikan semua kepada saya pada tahun 2011 dengan mendapatkan 3 beasiswa sekaligus. Betapa Dia mememang selalu memesra-manjai hambanya yang selalu berharap dan menyandarkan diri padaNYa. Begitulah, akhirnya seorang anak kampung yang tidak pernah bermimpi untuk melanglang buana itu bisa merasakan dan mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda tanpa mengeluarkan uang sepeserpun bahkan dengan bonus pendidikan, gelar, pengalaman, dan warna warni kehidupan lainnya. Alhamdulillah.

Senin, 23 Januari 2012

21 Jan-25 Jan 2012

Saturday, 21st Jan 2012 is a memorable moment: My three handsome boys with a sparkling traditional clothes celebrate their important days. Raqi and Wali were finishing a period of learning how to recite Qur'an (Khataman) and Abi was celebrating a thanksgiving (syukuran) for his transition period indicated by circumscission ritual. I looovvvve them and they look so gorgeous and adorable in that clothes. Muuaccchhh....

3 days from it, I'm supposed to leave them as 25th Jan is my departure time to OZ. Thanks God, my visa has not been granted until today and it means I will have delays. It's ok. I need to take breath while getting done with some bussiness and duties. However, I really hope my visa and my families' visa won't take that long... many activities are waiting for me in the UWS.... And look forward to being a student again...

My Visa.....I'm waiting for you!

Rabu, 11 Januari 2012

Crossing 2011

It's been a year, I did not write anything in this blog. Time passes so quickly and 2012 is already there. Thinking back of 2011, innumerable things I did, joy and sorrow I shared, disappointment and achievement I felt. Here is a flash back of 2011:

Jan-March: Were boring days; I was a single parent with 3 active boys as their dad stayed miles away for his P.hD program. Riding and picking them up to and from their schools are among every day routines. Hot days or cold should be enjoyed with my old motorcycle. Yes, a car is parked nicely in the garage but I was so worried to drive it for Lombok's crazy traffic and careless drivers. Until one day, my second son should be hospitalized and with all my courage, yeee I drive in Indonesia, eventually. I my self even could not believe it. Sun shines.....!!!!!

Work place is even more boring, or ... (he he he, disgusting, wkkkk). In an educational institution, where I work, everybody seemed to forget why they are there: they are busy, instead to make any effort for getting 'position'? without considering rules and agreement?????? I hate them!

30 March: my 34th birthday.... a surprise from my men.

April-June: Struggling for a government scholarship, getting acceptance form a university in Australia, etc etc... and ta daaaa,I made it.

June: deciding to apply for another scholarship which I applied previously. Hoped to get my luck this time.

Agustus: having a very good time in my hometown mith families and relatives.... happy happy happy

6 Sept: Succesful Notification from a really prestigious scholarship (ALA) wooow wooow... a breaktrough in my life...at this moment I should withdraw my Dikti Scholarship. (Opportunities always in fighters' hand)

Sept-Nop: was very busy to finish all the duties in institution , prepare the documents needed, arrange everything for my men before leaving.... with mixed feeling of course

Des: another milestone: is awarded Alison Sudradjat Award

14 Des: having reception and pre departure briefing.... time is almost there...

.... waiting for 25 Jan 2011.... time to leave....!!!!

Minggu, 05 Desember 2010

INTEGRASI HUKUM KELUARGA DAN PERSPEKTIF GENDER (Catatan Singkat Untuk PSW)

Keterlibatan saya dalam isu relasi gender sebenarnya baru. Embrionya baru di mulai, paling tidak secara akademis, ketika saya menempuh program magister konsentrasi hukum keluarga di IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1998. Beruntung saya waktu itu langsung mendapatkan ilmu dari ‘sang maestro’ (almarhum) Mansour Faqih. Ia menjadi maestro karena hampir keseluruhan pegiat isu ini pasti menyempatkan diri membaca bukunya berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial.”

Berada di dalam kelasnya selama satu semester luar biasa memberikan saya inspirasi. Apalagi ia seorang laki-laki, yang nota bene tidak punya pengalaman sebagai perempuan tetapi memiliki kepedualian, rasa empati, dan kedalaman pengetahuan tentang isu keadilan dan kesetaraan gender dalam kerangka transformasi sosial, cukup membuat saya sadar dan terbelalak. Saya akhirnya menetapkan diri untuk memfokuskan kajian tesis saya pada isu ini. Tidak banyak materi yang beliau berikan tetapi perspektif dan cara berpikir kritis yang ia lontarkan sangat mendorong saya untuk terus mengkaji isu gender terutama berkaitan dengan spesifikasi keilmuan saya yaitu hukum keluarga.

Background hukum keluarga lebih lama saya miliki, dibandingkan dengan background gender, yaitu sejak S1, walaupun dulu dengan nama konsentrasi yang berbeda yaitu Peradilan Agama atau Qadha’ tapi kajiannya seputar hukum keluarga atau ahwal al syakhsiyyah. Adalah benar, selama S1 saya sering mengikuti kajian tentang isu-isu seputar relasi gender secara freelance karena merupakan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler, tapi apa yang saya pahami masih dalam kerangka normatif tanpa fokus perspektif yang memadai.

Spesialisasi hukum keluarga kemudian berlanjut sampai S2 saya yang pertama. Setelah pada semester 1 saya mendapatkan perspektif kritis dari pak Mansour Faqih, saya mulai memfokuskan kajian semua makalah saya pada isu relasi gender, apapun mata kuliahnya. Perspektif gender selalu menarik dan tepat untuk dipakai sebagai analisis. Pengalaman ini lalu membuat saya mulai menyadari bahwa memang ada ‘hubungan’ yang sangat kuat antara materi hukum keluarga dan analisis gender. Sampai akhirnya saya menyusun thesis tentang UU perkawinan ditinjau dari analisis gender.

Tamat dari S2 saya lalu pulang ke “kampung” NTB mengabdi di IAIN Mataram. Saya pun diamanatkan untuk mengampu mata kuliah Hukum Islam Indonesia yang dulu namanya Peradilan Agama di Indonesia. 4 tahun mengajar mata kuliah ini dari 2000-2004 membuat saya lebih memahami bahwa menjelaskan hukum keluarga apalagi ketika harus dikaitkan teori normatif, baik dari fiqh maupun hukum, dengan realitas kehidupan terutama dalam konteks NTB memerlukan analisis gender yang memadai karena begitu banyaknya isu ketimpangan relasi yang menghinggapi keluarga muslim di wilayah ini.

Momen kesadaran ini semakin terpupuk ketika pada tahun 2003, IAIN Mataram membentuk Pusat Studi Wanita di mana saya dan teman-teman, walaupun masih dalam jumlah dan scope yang terbatas, berdiskusi tentang isu-isu tersebut. Pada awal tahun 2004 ketika ada perubahan kurikulum di IAIN Mataram, kami dan beberapa temanpun mengusulkan untuk memasukkan mata kuliah Fiqh an Nisa’ di konsentrasi Ahwal al Syakhsiyyah (AS) dan berhasil sehingga sampai sekarang mata kuliah tersebut menjadi bagian yang harus ditempuh oleh mahasiswa AS.

Menyadari kekurangan saya dari segi metodologi, perspektif maupun analisis kritis yang terkait dengan permasalahan gender, saya lalu memutuskan untuk mendalaminya pada S2 kedua saya dengan spesifik program studi Women’s Studies yang berada di bawah payung keilmuan sosiologi hukum dan sosiologi keluarga. Beruntung lagi saya mendapatkan beasiswa fulbright yang memungkinkan saya untuk mendalami kajian ini di negara adidaya USA.

Keberadaan saya selama dua tahun di Amerika memberikan banyak pelajaran bukan saja dari ruang kelas tetapi juga dari interaksi dengan teman, dosen, dan kolega di luar kelas baik yang muslim maupun yang non muslim. Saya juga semakin mengerti bahwa kehidupan keluarga tidak sesimple yang saya sebelumnya bayangkan. Keluarga-keluarga di Amerika adalah rata rata keluarga nuclear. Mereka tidak memiliki pembantu sehingga betul-betul kerjasama antaranggota keluarga sangat diperlukan. Keluarga di sana juga diartikan bukan saja family of men and women, tetapi juga family of women or family of men: keluarga Lesbian dan Gay. Belum lagi kalau bicara tentang sistem no fault divorce (perceraian tanpa memerlukan alasan kesalahan pasangan, cukup dengan alasan sudah tidak ada cinta) yang mendorong sangat tingginya angka perceraian. Individualisme dan kemandirian seorang perempuan yang luar biasa juga menjadi pemicu tingginya angka perceraian. Kehidupan keluarga sangat berkembang yang seakan-akan kita secara individu tertinggal. Dalam era globalisasi sekarang, bukan tidak mungkin perkembangan ini akan segera menjalar ke mana-mana bahkan ke Indonesia.

Di sisi lain, keluarga Indonesia terutama keluarga Muslim, bisa jadi karena kesamaan ideologi, juga sedikit banyak berkiblat pada prototipe keluarga Arab di mana perempuan dalam banyak hal sangat tergantung kepada suami dan persoalan domestik-publik sangat tajam menciptakan segregasi antar jenis kelamin. Masalah seperti itu, ironisnya, masih dipandang sebagai hal yang memang seharusnya dengan menyandarkan isu ini pada dalil-dalil agama.

Tentu saja semua pengaruh dari Barat maupun dari Timur tersebut tidak bisa diterima mentah-mentah karena kehidupan keluarga di Indonesia terbentuk oleh konteks yang berbeda. Tetapi penerimaan yang tidak mentah-mentah ini memerlukan kedewasaan berpikir dan pengetahuan serta perspektif yang memadai. Saya tetap punya standpoint bahwa keluarga tetap penting dan perjuangan gender tidak harus mengorbankan keluarga karna justeru inilah institusi yang memerlukan kesungguhan, pengorbanan, dan negosiasi yang luarbiasa sehingga tantangan dan kesempatan membumikan ide kesetaraan menemukan tempatnya. Oleh karenanya integrasi perspektif gender ke dalam hukum keluarga menemukan arti pentingnya

Signifikansi Integrasi Hukum Keluarga dan Perspektif Gender
Tantangan yang dihadapi oleh keluarga modern sebagaimana disebutkan di atas mengantarkan kita pada pilihan akan sebuah keharusan penguatan institusi keluarga. Tentu saja sebagai akademisi maupun praktisi yang terlibat dalam permasalahan keluarga harus membekali diri dengan berbagai macam cara pandang kritis, maupun wawasan dan perspektif baru tentang keluarga yang kebetulan menurut saya akan bermuara pada perspektif relasi gender.
Singkatnya, pengalaman, dialektika kehidupan yang saya alami di atas sampai saat ini memberi saya pengetahuan (mungkin untuk sementara) yang mengantar saya pada kesimpulan bahwa program studi untuk mencetak akademisi maupun praktisi yang terlibat dalam hukum keluarga perlu membekali diri dengan pengetahuan dan analisis gender. Demikian pula sebaliknya, mereka yang ingin terlibat secara intens dalam isu kesetaraan perlu juga membekali diri dengan hal-hal yang terkait dengan keluarga dan hukum keluarga, karena beberapa alasan berikut:
1. Kerbert dan Dehart, duo sejarahwati feminis dari Amerika mengatakan bahwa jika sistem mengenai relasi gender dalam sebuah budaya ingin dipahami, maka aturan hukum keluarga khususnya perkawinan adalah tempat di mana harus memulai.
Pendapat tersebut tidak berlebihan jika memang melihat betapa di dalam lembaga keluarga bercokol isu-isu ketidaksetaraan dan hukum keluarga khususnya tentang perkawinan masih banyak menyisakan pertanyaan tentang ketidaksetaraan itu. Keluarga sendiri bersama-sama hukum merupakan dua buah institusi yang saling mengisi dalam melanggengkan subordinasi dalam relasi gender. Ini tentu saja tantangan bagi pegiat isu ini. Diperlukan cara pandang yang saling melengkapi untuk menentang kemapanan budaya patriarkhi yang memperalat keluarga dan hukum keluarga itu sendiri sebagai institusi yang memapankan relasi timpang antar jenis kelamin. Meminjam istilah dari aliran liberal feminisme, diperlukan perjuangan within the system (perjuangan yang dimulai dari perbaikan dalam institusi itu sendiri). Dengan demikian, cara pandang baru yang bisa mengawinkan perspektif gender untuk relasi setara di dalam keluarga dan hukum keluarga tidak lagi sekedar daur ulang dari hukum yang diinginkan oleh mereka yang berkuasa tetapi dapat menjadi upaya membalik paradigma (shifting paradigm) untuk menjadikan keluarga sebagai tempat dimulainya upaya kesetaraan itu.
Relasi dalam keluarga sangat gampang memunculkan isu ketidaksetaraan ketika keluarga memang gagal melakukan demokratisasi internal, sebut saja misalnya isu pembagian tugas, isu posisi tawar, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),. Lagi-lagi, bagi masyarakat muslim yang menganggap keluarga sebagai institusi yang penting dalam keberlanjutan kehidupan dan jati diri muslim, keluarga perlu diperkuat agar melakukan demokratisasi dan mempioneri kesetaraan itu. Tentu salah satu caranya dengan mengenali isu-isu dan perspektif kritis tentang keluarga yang lalu diaplikasikan demi kemaslahatan keluarga itu sendiri. Siapapun tidak menolak bahwa membicarakan isu kesetaraan dan keadilan dalam scope yang lebih luas, harus dimulai dari keluarga. Untuk menyebut beberapa kasus misalnya keterlibatan seorang perempuan di dunia publik sesungguhnya sangat mungkin kalau dunia keluarga sudah terdemokratisasi. Negosiasi publik dan domestik ini menjadi isu esensial di dalam upaya pembinaan keluarga yang berkesetaraan dan berkeadilan.

2. Hukum Mua’amalah, terkhusus hukum keluarga, menjadi hukum yang paling banyak disebut dan diatur secara detail di dalam al Qur’an. Namun demikian, interpretasi terhadap hukum keluarga dalam penafsiran keagamaan masih dikuasai oleh wacana patriarkhi karena memang begitu minimnya kontribusi perempuan dan metodologi emansipatoris dalam memandang persoalan hukum ini.
Jika dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, semisal hukum pidana, hukum ekonomi, dan hukum sipil, hukum keluarga adalah satu-satunya hukum yag sarat dengan isu ketimpangan relasi gender. Dalam hukum pidana misalnya, jenis kelamin tidak menjadi dasar perbedaan hukuman sebagai pelaku pidana misalnya pada pidana pencurian, jelas sanksi pidananya sama-sama dipotong tangan bak yang melakukan itu laki-laki maupun perempuan. Demikian pula pada hukum sipil semisal sewa menyewa, gadai menggadai, dan hutang piutang yang tidak mempersyaratkan standard yang berbeda bagi laki-laki maupun perempuan. Sayangnya ketika sampai pada hukum keluarga masalah menjadi lain, sebut saja misalnya permasalahan izin dari suami ketika istri harus melakukan transaksi bisnis, isu poligami, hak menjatuhkan thalaq, dan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.
Dengan berdalih bahwa laki-laki memang secara agama diberi hak yang istimewa dalam keluarga, banyak justeru ketimpangan relasi itu dimulai dalam keluarga. Padahal keluarga menjadi tempat pertama dan utama berlangsungnya sosialisasi karakter dan pendidikan. Tanpa cara pandang kritis dan perspektif baru untuk mewujudkan relasi yang lebih setara di dalam keluarga, keluarga lalu bahkan bisa terjebak menjadi tempat yang justeru mengajarkan ketidaksetaraan itu.
3. Di negara-negara Muslim, hukum keluarga menjadi satu-satunya hukum yang paling cepat diakomodasi menjadi hukum positif yaitu hukum yang diberlakukan bagi keluarga muslim dengan pengakuan negara secara formal, dengan berbagai pertimbangannya yang salah satunya untuk meningkatkan posisi tawar kaum perempuan di dalam keluarga.
Di satu sisi fenomena ini menggembirakan karena paling tidak identitas dan kehususan aturan tentang keluarga muslim diakui. Keluarga muslim juga lebih dijamin haknya untuk mengatur relasi keluarganya oleh negara dengan aturan-aturan mereka sendiri. Terlebih, positifisasi hukum keluarga Islam didasari tujuan untuk mereformasi hal-hal yang masih meletakkan perempuan hanya sebagai obyek di dalam keluarganya. Tercatat banyak formulasi hukum baru yang beranjak dari ketentuan fikh klassik dengan alasan tersebut, misalnya adanya syarat-syarat berpoligami, ketentuan batasan usia minimal perkawinan, dan pencatatan perkawnian.
Tetapi di sisi lain, positifisasi hukum keluarga ini menjadi bumerang dan taruhan ketika hukum keluarga itu tidak bisa mengakomodasi dinamika sosial sehingga hukum keluarga terjebak menjadi pendaur ulang relasi timpang. Lebih mengkhawatirkan karena kekuatan formal dengan positifisasi hukum keluarga itu menjadi senjata yang justeru meletakkan relasi gender pada situasi yang lebih sulit. Misalnya, aturan tentang nusyuz (ketidakpatuhan), pada sebagaian besar hukum keluarga yang berlaku di negara muslim, termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi aturan yang dipegang oleh peradilan agama di Indonesia, nusyuz masih dipandang sepihak dalam arti hanya terkait dengan ketidakpatuhan istri atau penelantaran tanggungjawab seorang istri yang memiliki konsekuensi hukum yang jelas, sementara penelantaran tanggungjawab suami tidak disebut-sebut sebagai nusyuz padahal al-Qur’an sendiri menyebut kemungkinan pelaku nusyuz baik dari pihak suami maupun istri. Alih-alih memberdayakan perempuan sebagai salah satu alasan mereformasi hukum keluarga, aturan ini justeru meletakkan perempuan hanya sebagai obyek dan pelengkap dalam keluarganya tanpa jaminan hak yang jelas.
4. Munculnya fenomena isu gender vis a vis keluarga. Fenomena ini menghadapkan isu kesetaraan dan keluarga sebagai pilihan yang harus diambil salah satu. Kalau mau berpikir kesetaraan, tinggalkan keluarga, sebaliknya kalau memutuskan berkeluarga, lupakan kesetaraan.
Cara berpikir seperti itu, hemat saya, berbahaya. Bahaya karena tidak realistis. Dua hal yang dipandang berbeda tidak harus dipisahkan untuk mencari jalan sendiri-sendiri tetapi perlu dinegosiasikan dan dicari titik temunya. Mungkin memerlukan waktu, pengorbanan, dan perjuangan yang luar biasa tetapi memang itulah proses yang harus dilalui. Munculnya fenomena seperti itu juga mungkin wajar, karena banyak pejuang isu kesetaraan ini merasa ‘depresi’ dengan slow progress dari perjuangan yang mereka tempuh. Pejuang radikal feminisme misalnya menginginkan separatisme perempuan dalam memerjuangkan isu kesetaraan. Salah seorang tokoh feminisme radikal, Audre Lorde, misalnya, dengan statemennya yang terkenal the master’s tool will never dismantle the master’s house bahwa senjata tuan tidak mungkin mengobrak-abrik rumah tuannya sendiri meragukan bahwa perjuangan dari dalam lembaga dan sistem akan berhasil karena sistem yang dibangun sekarang, termasuk institusi keluarga, sudah terlanjur dipegang erat oleh cara pandang patriarkhi. Cara pandang seperti ini tentu tidak bisa berlaku bagi keluarga muslim karena muslim tetap memandang keluarga sebagai institusi yang penting. Apa yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat institusi keluarga. Bukan dengan menjauhkan relasi keluarga dari isu gender tetapi bagaimana isu gender ini lebih memperkuat posisi ini sehingga solusinya bukan ibarat membakar gudang karena ingin mengusir tikus tapi bagaimana gudang itu dibangun agar tikus tidak betah di dalamnya.
5. Konteks NTB dan Sasak. Sudah bukan rahasia lagi, kondisi sosial di NTB yang benyak terkait dengan hukum keluarga menjadi berita dan targt pmberdayaan yang seolah tidak berujung. Sebut saja misalnya, isu kawin cerai, poligami liar, nikah di bawah tangan, tingginya kematian ibu dan bayi, tingginya tingkat buta huruf, yang dalam banyak kasus masalah-masalah tersebut menjadi penyumbang bagi rendahnya kualitas masyarakat.
Masalah-masalah tersebut di atas sangat erat terkait dengan cara pandang masyarakat terhadap posisi perempuan dan relasi gender. Sayangnya, isu perempuan belum menjadi isu prioritas dan belum dijadikan perspektif yang terintegrasi dalam kebijakan pembangunan keluarga maupun pembangunan dalam arti umun di NTB. Padahal, isu perempuan yang melahirkan diskriminasi di segala bidang yang lalu terwujud pada masalah-masalah tersebut di atas, diakui atau tidak, telah menyumbang bagi rendahnya kualitas manusia dan kehidupan di NTB sehingga Indeks Prestasi Manusia (IPM) NTB harus puas berada di urutan ke 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Ironis memang!
Kondisi ini tentu tidak hanya cukup diratapi apalagi dicarikan kambing hitamnya semisal dengan menyalahkan alat ukur yang digunakan. Harus ada langkah sistematis dan komprehensif dalam menyiapkan kualitas masyarakat yang dimulai dari lembaga keluarga. Keluarga perlu terdemokratisasi langkah-langkah besar yang bersinergi dengan pembangunan regional maupun global perlu dimulai dari keluarga. Kalau itu pilihannya maka tidak ada cara lain kecuali menjadikan keluarga dan hukum keluarga sebagai pengatur dan pendobrak sistem patriarkhi untuk menciptakan relasi gender yang lebih setara. Upaya itu harus dimulai sekarang dan oleh kita!

Peran PSW IAIN Mataram
Semua orang tentu punya cara sendiri-sendiri untuk memperjuangkan titik temu dan integrasi hukum keluarga dan perspektif gender berdasarkan peran dan tanggungjawab masing-masing. Praktisi pengadilan agama seperti hakim misalnya, perlu membekali diri dengan cara pandang kritis dan tidak biasa dalam menangani perkara-perkara hukum keluarga yang diajukan kepada mereka. Pegawai kantor KUA yang menangani masalah perkawinan juga perlu mendalami perspektif ini agar dapat menjalankan tugas mereka dengan baik di tengah dominasi budaya patriarkhi dalam relasi keluarga muslim NTB sebagaimana terpapar di atas. Singkatnya, setiap orang atau lembaga bisa saja berkontribusi pada upaya ini berdasarkan cara mereka masing-masing. Lalu pertanyaannya, apa peran PSW IAIN Mataram dalam hal ini?
Peran PSW IAIN Mataram tentu sangat strategis. Keberadaan Pusat Studi Wanita sebagai bagian integral dari lembaga pendidikan tinggi agama negeri memberikan kesempatan besar bagi upaya PSW mengintegrasikan perspektif gender dalam cara pandang akademik melalui berbagai kegiatan, baik secara formal maupun secara tidak formal. Secara formal, katakanlah misalnya dengan memasukkan perspektif gender dalam kurikulum. Hal ini sebenarnya sudah tampak di fakultas Syari’ah jurusan Ahwal al Syaksyiyyah dengan mata kuliah Fiqh an Nisa dan pada fakultas Dakwah dengan mata kuliah Pengantar Gender. Ini adalah langkah awal yang strategis. Secara informal misalnya, PSW bisa melibatkan civitas akademika baik dosen, karyawan, maupun mahasiswa dalam mengenali isu kesetaraan dan menekankan titik penting dimulainya isu ini dari diri sendiri dan keluarga. Pada saatnya, ketika kesadaran ini benar-benar terbangun dan menjadi misi bersama, upaya menanamkan isu kesetaraan pada ranah-ranah yang lain misalnya isu kekuasaan dan kepemimpinan dalam skala yang lebih luas, akan lebih terbuka jalannya.
Keberadaan fakultas Syari’ah dengan jurusan Ahwal al Syakhsiyyah (AS) nya menjadi suntikan energi tambahan bagi PSW untuk semakin mengintegrasikan keilmuan hukum keluarga dan perspektif gender sebagimana yang menjadi fokus penyampaian tulisan ini. Lebih-lebih pada tahun ini, IAIN telah mulai membuka angkatan perdana program Pascasarjana yang salah satu prodinya adalah Ahwal al Syakhsiyyah. Jika PSW mempunyai misi yang jelas untuk memulai perjuangan kesetaraan dan menanamkan kesadaran gender ini secara sistematis dimulai dari skala keluarga, maka keberadaan prodi ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi keberhasilan PSW pada khususnya dan IAIN sendiri pada umumnya. PSW harus berkontribusi dan IAIN harus membuktikan langkah-langkah sistematis dan efektif untuk mencetak magister yang tidak hanya kaya akan pandangan normatif tentang hukum keluarga tetapi trampil membumikan pandangan itu disertai dengan sikap kritis dan tekad mengabdikan ilmu untuk menjawab problem keluarga Muslim di NTB.
Demikian pula jurusan AS pada tingkat sarjana maupun pascasarjana harus mempunyai visi dan misi yang jelas juga untuk membawa lulusannya kemana. Visi dan misi ini harus dibreakdown dari kebutuhan umat sekitar sehingga program pendidikan apapun namanya itu tidak terpisah dari permasalahan masyarakat dan hanya menjadi menara gading para intelektual. Program akademik layaknya menjadi pemecah kebuntuan dan memberikan sumbangsih yang nyata bagi problem keumatan yg nyata pula. Kalau visi dan misi itu sudah jelas, PSW dan jurusan AS bisa bekerjasama, bertukar pikiran, dan membawa IAIN ini menjadi memiliki sesuatu yang khusus dan plus untuk ditawarkan kepada masyarakat luas.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa perspektif gender hanya penting untuk jurusan AS. Sebagai sebuah perspektif yang menyentuh cross-cutting issues persplektif dan analisis ini bisa memasuki spesifikasi keilmuan apa saja. Hanya saja perspektif tersebut menemukan arti yang lebih penting pada hukum keluarga dengan konteks kekinian dan kedisinian kita berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan di atas.
Sudah saatnya PSW tidak hanya berkutat pada wacana dan langkah-langkah yang belum tertata secara sistematis dengan orientasi proyek. PSW perlu memperkuat diri untuk mengenali isu-isu strategis di mulai dari dalam institusi sendiri. PSW juga perlu memiliki langkah-langkah yang sistematis dan target capaian yang jelas dalam kegiatan dan programnya. Tulisan ini hanya satu dari alternatif-alternatif yang bisa didiskusikan lebih lanjut oleh PSW untuk segera memulai gerakan pemberdayaan dan penanaman kesadaran gender dengan langkah sistematis dan indikator pencapaian yang jelas. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan diskusi yang intens!

Secercah Harapan Bagi Perempuan NTB (Refleksi Hari Ibu 22 Desember 2008)

Minggu yang lalu selama dua hari berturut-turut (Kamis dan Jum’at /18-19 Desember 2008), harian ini (Lombok Post) memuat dua hasil penelitian yang saya kira sangat luar biasa dari siswi-siswi SMA di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Yang pertama mengungkap fakta bahwa prestasi perempuan di dunia pendidikan ternyata lebih unggul daripada laki laki. Penelitian yang kedua menemukan bahwa sya’ir cilokaq (nyanyian tradisional lombok) banyak yang kurang mendidik karena sya’ir cilokaq seringkali mendiskreditkan sosok perempuan. Ironisnya dalam tradisi Sasak sya’ir tersebut berkontribusi besar bagi pembentukan citra diri/ kesan terhadap citra diri perempuan secara turun temurun.
Kemunculan hasil penelitian dua srikandi muda ini menarik paling tidak karena tiga hal: Pertama, karya ini muncul dari generasi muda yang memang menjadi tumpuan bagi transformasi sosial setelah sekian lama kuat berakarnya pemahaman dan ideologi masyarakat bahwa perempuan sejati adalah perempuan yang bersedia mengalah atau ”kalah” dari laki-laki. Kedua, realitas bahwa munculnya kesadaran akan potensi perempuan dari pihak perempuan sendiri merupakan angin segar bagi terwujudnya perjuangan pemberdayaan perempuan ke arah yang lebih strategis. Kesadaran yang tumbuh dari dalam sebagaimana terlihat pada dua orang pemudi tersebut merupakan potensi besar ketika banyak perempuan lain (apalagi) generasi muda yang belum berhasil menemukan jati diri mereka sendiri. Ketiga, kesadaran ini muncul dari generasi mudi Sasak di tengah terpojoknya perempuan Sasak yang selama ini selalu menjadi obyek proyek karena begitu banyaknya isu ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki di daerah ini. Isu trafficking, rendahnya perlindungan hukum bagi perempuan, lemahnya posisi tawar perempuan di segala lini, tingginya angka kematian ibu dan bayi adalah di antara banyak deretan permasalahan akibat problem relasi gender yang menghinggapi kehidupan sosial masyarakat Sasak. Oleh karena itu, karya dua generasi mudi ini adalah secercah harapan bagi perubahan paradigma masyarakat yang memang tumbuh secara sadar dari masyarakat itu sendiri.
Secercah harapan ini mungkin bisa menjadi harapan besar ketika sekarang banyak pihak yang, paling tidak, sudah menjanjikan perubahan dan harapan baik bagi upaya pemberdayaan perempuan. Dari pihak eksekutif misalnya, kemunculan gubernur baru yang masih muda yang berlatarbelakang tuan guru dengan keberanian menyuratkan secara tegas visi kesetaraan gender pada janji politiknya merupakan incredible support bagi berkembangnya kesadaran gender. Beliau juga berani mengangkat kuota perempuan yang menduduki jabatan kepala dinas menjadi enam orang setelah sekian lama termarginalnya perempuan dari kursi penting birokrasi. Kantor pemberdayaan perempuan juga sekarang menjadi kantor yaang berdiri sendiri setelah sebelumnya menjadi underbow dari dinas atau instansi lain. Pada wilayah legislatif quota 30 porsen menjanjikan perubahan yang baik bagi keterwakilan perempuan. Partai-partai politik juga getol mencari perhatian rakyat dengan menempatkan perempuan pada nomor-nomor yang menjanjikan.
Selain dukungan struktural sebagaimana tersebut di atas kesadaran masyarakat secara kultural terhadap isu gender juga sedikit berkembang walaupun belum pada taraf yang sangat memuaskan. Beberapa teman perempuan yang sekarang sedang getol kampanye untuk caleg menemukan respons masyarakat yang menggembirakan bagi keterlibatan perempuan pada dunia politik. Kalau sebelumnya masih banyak generasi tua maupun muda yang sinis bahkan menolak mentah-mentah keterlibatan perempuan di dunia yang merupakan “dunia laki-laki” ini, masyarakat sekarang banyak memandang bahwa calon legislatif perempuan menawarkan harapan baru yang menjanjikan kehidupan yang mudah-mudahan lebih baik setelah sekian lama kekuasaan dipegang oleh jenis kelamin lain yang nyata-nyata telah banyak gagal bagi kesejahteraan masyarakat.
Adanya dukungan struktural maupun kultural untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia publik sebagaimana tersebut di atas tentu tidak harus membuat perempuan atau kita semua terjebak pada hingar bingar wacana bahwa perempuan yang terberdayakan mesti menjadi perempuan karier, perempun yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Isu keterlibatan perempuan di dalam rumah (domestik) maupun diluar rumah (publik) sesungguhnya bukan merupakan substansi permasalahan pada upaya pemberdayaan perempuan. Perempuan yang terberdayakan tidak bisa dinilai hanya berdasarkan posisi dimana dia berkiprah tetapi apakah 4 kata kunci dalam upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri yaitu Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat (APKM) dapat perempuan peroleh di manapun mereka berada. Dengan cara pandang seperti ini para pihak yang terlibat dalam isu pemberdayaan perempuan ini hendaknya bisa menjembatani dan memfasilitasi seluruh perempuan dengan latar belakang yang berbeda.Target perjuangan bukan pada similarities approach tetapi lebih pada different approach dalam pengertian pemberdayaan perempuan tidak ditujukan untuk menyamakan semua perempuan tetapi bagaimana perempuan dapat diberdayakan sesuai dengan perbedaan kecenderungan, status sosial, dan permasalahan yang dihadapi.
Seorang ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga tidak bisa serta merta dianggap sebagai perempuan yang tidak diberdayakan selama ia dapat menikmati akses, dan partisipasi yang jelas dan proporsional, serta kontrol dan manfaat bagi kehidupan pribadi maupun sosialnya. Sebaliknya isu pemberdayaan perempuan dengan hanya mengangkat kuota keterwakilan, menempatkan perempuan menjadi kepala dinas, dan mendorong perempuan untuk ke luar rumah tentu tidak bisa bermakna dan menjanjikan apa apa selama prinsip-prinsip pemberdayaan (APKM) tersebut tidak dapat mereka peroleh sesuai dengan posisinya.
Tanpa APKM, pemberdayaan perempuan hanya upaya artifisial yang bersifat sesaat tanpa kedalaman makna dan kejelasan substansi bagi perjuangan membangun perempun itu sendiri.Dengan mememperjuangkan APKM yang proporsional bagi semua perempuan kita bisa memberikan difersifikasi peran bagi perempuan sehingga upaya mengangkat derajat perempuan itu sebenarnya merupakan sebuah koalisi warna-warni yang bisa diupayakan oleh siapa saja dan menjadi apa saja. Seorang ibu rumah tangga bisa menikmati hak-haknya sebagai perempuan selayaknya. Demikian pula perempuan yang memilih untuk berkiprah di luar rumah bisa memanfaatkan potensi dan posisinya sebagaimana seharusnya.