Minggu, 05 Desember 2010

Secercah Harapan Bagi Perempuan NTB (Refleksi Hari Ibu 22 Desember 2008)

Minggu yang lalu selama dua hari berturut-turut (Kamis dan Jum’at /18-19 Desember 2008), harian ini (Lombok Post) memuat dua hasil penelitian yang saya kira sangat luar biasa dari siswi-siswi SMA di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Yang pertama mengungkap fakta bahwa prestasi perempuan di dunia pendidikan ternyata lebih unggul daripada laki laki. Penelitian yang kedua menemukan bahwa sya’ir cilokaq (nyanyian tradisional lombok) banyak yang kurang mendidik karena sya’ir cilokaq seringkali mendiskreditkan sosok perempuan. Ironisnya dalam tradisi Sasak sya’ir tersebut berkontribusi besar bagi pembentukan citra diri/ kesan terhadap citra diri perempuan secara turun temurun.
Kemunculan hasil penelitian dua srikandi muda ini menarik paling tidak karena tiga hal: Pertama, karya ini muncul dari generasi muda yang memang menjadi tumpuan bagi transformasi sosial setelah sekian lama kuat berakarnya pemahaman dan ideologi masyarakat bahwa perempuan sejati adalah perempuan yang bersedia mengalah atau ”kalah” dari laki-laki. Kedua, realitas bahwa munculnya kesadaran akan potensi perempuan dari pihak perempuan sendiri merupakan angin segar bagi terwujudnya perjuangan pemberdayaan perempuan ke arah yang lebih strategis. Kesadaran yang tumbuh dari dalam sebagaimana terlihat pada dua orang pemudi tersebut merupakan potensi besar ketika banyak perempuan lain (apalagi) generasi muda yang belum berhasil menemukan jati diri mereka sendiri. Ketiga, kesadaran ini muncul dari generasi mudi Sasak di tengah terpojoknya perempuan Sasak yang selama ini selalu menjadi obyek proyek karena begitu banyaknya isu ketimpangan relasi perempuan dan laki-laki di daerah ini. Isu trafficking, rendahnya perlindungan hukum bagi perempuan, lemahnya posisi tawar perempuan di segala lini, tingginya angka kematian ibu dan bayi adalah di antara banyak deretan permasalahan akibat problem relasi gender yang menghinggapi kehidupan sosial masyarakat Sasak. Oleh karena itu, karya dua generasi mudi ini adalah secercah harapan bagi perubahan paradigma masyarakat yang memang tumbuh secara sadar dari masyarakat itu sendiri.
Secercah harapan ini mungkin bisa menjadi harapan besar ketika sekarang banyak pihak yang, paling tidak, sudah menjanjikan perubahan dan harapan baik bagi upaya pemberdayaan perempuan. Dari pihak eksekutif misalnya, kemunculan gubernur baru yang masih muda yang berlatarbelakang tuan guru dengan keberanian menyuratkan secara tegas visi kesetaraan gender pada janji politiknya merupakan incredible support bagi berkembangnya kesadaran gender. Beliau juga berani mengangkat kuota perempuan yang menduduki jabatan kepala dinas menjadi enam orang setelah sekian lama termarginalnya perempuan dari kursi penting birokrasi. Kantor pemberdayaan perempuan juga sekarang menjadi kantor yaang berdiri sendiri setelah sebelumnya menjadi underbow dari dinas atau instansi lain. Pada wilayah legislatif quota 30 porsen menjanjikan perubahan yang baik bagi keterwakilan perempuan. Partai-partai politik juga getol mencari perhatian rakyat dengan menempatkan perempuan pada nomor-nomor yang menjanjikan.
Selain dukungan struktural sebagaimana tersebut di atas kesadaran masyarakat secara kultural terhadap isu gender juga sedikit berkembang walaupun belum pada taraf yang sangat memuaskan. Beberapa teman perempuan yang sekarang sedang getol kampanye untuk caleg menemukan respons masyarakat yang menggembirakan bagi keterlibatan perempuan pada dunia politik. Kalau sebelumnya masih banyak generasi tua maupun muda yang sinis bahkan menolak mentah-mentah keterlibatan perempuan di dunia yang merupakan “dunia laki-laki” ini, masyarakat sekarang banyak memandang bahwa calon legislatif perempuan menawarkan harapan baru yang menjanjikan kehidupan yang mudah-mudahan lebih baik setelah sekian lama kekuasaan dipegang oleh jenis kelamin lain yang nyata-nyata telah banyak gagal bagi kesejahteraan masyarakat.
Adanya dukungan struktural maupun kultural untuk meningkatkan partisipasi perempuan di dunia publik sebagaimana tersebut di atas tentu tidak harus membuat perempuan atau kita semua terjebak pada hingar bingar wacana bahwa perempuan yang terberdayakan mesti menjadi perempuan karier, perempun yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Isu keterlibatan perempuan di dalam rumah (domestik) maupun diluar rumah (publik) sesungguhnya bukan merupakan substansi permasalahan pada upaya pemberdayaan perempuan. Perempuan yang terberdayakan tidak bisa dinilai hanya berdasarkan posisi dimana dia berkiprah tetapi apakah 4 kata kunci dalam upaya pemberdayaan perempuan itu sendiri yaitu Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat (APKM) dapat perempuan peroleh di manapun mereka berada. Dengan cara pandang seperti ini para pihak yang terlibat dalam isu pemberdayaan perempuan ini hendaknya bisa menjembatani dan memfasilitasi seluruh perempuan dengan latar belakang yang berbeda.Target perjuangan bukan pada similarities approach tetapi lebih pada different approach dalam pengertian pemberdayaan perempuan tidak ditujukan untuk menyamakan semua perempuan tetapi bagaimana perempuan dapat diberdayakan sesuai dengan perbedaan kecenderungan, status sosial, dan permasalahan yang dihadapi.
Seorang ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga tidak bisa serta merta dianggap sebagai perempuan yang tidak diberdayakan selama ia dapat menikmati akses, dan partisipasi yang jelas dan proporsional, serta kontrol dan manfaat bagi kehidupan pribadi maupun sosialnya. Sebaliknya isu pemberdayaan perempuan dengan hanya mengangkat kuota keterwakilan, menempatkan perempuan menjadi kepala dinas, dan mendorong perempuan untuk ke luar rumah tentu tidak bisa bermakna dan menjanjikan apa apa selama prinsip-prinsip pemberdayaan (APKM) tersebut tidak dapat mereka peroleh sesuai dengan posisinya.
Tanpa APKM, pemberdayaan perempuan hanya upaya artifisial yang bersifat sesaat tanpa kedalaman makna dan kejelasan substansi bagi perjuangan membangun perempun itu sendiri.Dengan mememperjuangkan APKM yang proporsional bagi semua perempuan kita bisa memberikan difersifikasi peran bagi perempuan sehingga upaya mengangkat derajat perempuan itu sebenarnya merupakan sebuah koalisi warna-warni yang bisa diupayakan oleh siapa saja dan menjadi apa saja. Seorang ibu rumah tangga bisa menikmati hak-haknya sebagai perempuan selayaknya. Demikian pula perempuan yang memilih untuk berkiprah di luar rumah bisa memanfaatkan potensi dan posisinya sebagaimana seharusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar