Kamis, 20 Maret 2014



Wali dan Abi are going to school

Merentang Tiga Benua

Saya, seorang anak desa, dari pelosok propinsi NTB, 'hanya' putri dari dua orang (ibu bapak) guru era lama yang hidup pas-pasan, tentu tidak pernah bercita-cita berada pada benua yang dulu, bagiku, hanya ada di dalam dongeng dan terlukis di atas peta dunia. Yang saya ingat, tanah Jawa saja begitu jauh dalam khayalan bagi akal beliaku. Untung, karena dorongan dari kakekku yang meyakinkan dan menguatkan hati orang tuaku, aku kemudian bisa menginjak tanah Jawa untuk nyantri. Nampaknya, sejak itulah jiwa 'petualang'ku bermula.

Praktis, saya menghabiskan usiaku di tanah kelahiran hanya sampai usia 13 tahun. Sejak 1990, saya meninggalkan tanah kelahiran menuju sebuah pondok pesantren di kota santri Jombang Jawa Timur. Sejak saat itu pula saya tidak pernah kembali mendiami tanah kelahiranku kecuali berkunjung atau hanya berlibur. Sesuatu yang sebenarnya menurut hati kecilku tidak pantas. Dan dengan perasaan bersalah itu, saya selalu bertekat suatu saat ingin kembali secara fisik tinggal dan mengabdi di tanah tumpah darah ku itu.

Sejak tahun itu, saya merantau di tanah Jawa selama hampir 10 tahun. Dari Jombang, setamat pesantren, pendidikanku dilanjutkan di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan saya menyelesaikannya selama 3,5 tahun atau 7 semester. Saat di Surabaya,saya sempat pula mengambil beberpa kali kursus di Pare Kediri jawa Timur. Selama di Jawa Timur itu, hampir semua daerah saya kunjungi biasanya atas ajakan teman teman mendatangi rumahnya karena merasa kasihan melihat saya tinggal di pondok, atau di kos untuk liburan yang hanya beberapa hari. Biasanya saya pulang ke kampung hanya sekali setahun ketika liburan panjang.
Berhasil memperoleh sarjana di IAIN Sunan Ampel, saya melanjutkan studi PascaSarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tahun 1998-2000) setelah sebelumnya sambil menunggu waktu pendaftaran (saya wisuda 1997) sempat memeperdalam bahasa Inggris kembali ke Pare.

Dua tahun di Yogya, walaupun singkat, adalah masa ketika saya benar benar memulai masa depan. Setahun setelah S2 pada semester 3 saya menikah dan berturut turut rejeki datang yang semakin memantapkan identitasku. Pada saat yang hampir bersamaan, 10 bulan pasca menikah, saya lulus sebagai tenaga pengajar di kampus yang sama di mana suami duluan bertugas (IAIN Mataram), lalu melahirkan anak pertamaku, lalu wisuda S2. Nikmat yang begitu berturut turut tetapi juga disertai dengan perjuangan yang maha berat.

Nah, dari sinilah, perjalananku mencari ilmu di beberapa negara di mulai. Setelah 4 tahun bertugas sebagai dosen dan mengampu mata kuliah Hukum Keluarga Islam, saya menyadari bahwa ada ilmu dan perspektif yang harus saya lengkapi untuk bisa memahami apa yang saya ajarkan kepada mahasiswa saya. Perspektif normatif keagamaan yang memang menjadi bakground keilmuanku selama ini rasanya tidak cukup untuk menjelaskan topik topin dalam konteks dinamika sosial yang begitu luar biasa cepat. Lalu saya memeutuskan untuk kuliah lagi dan ingin mengambil kembali S2 dalam bidang sosiologi hukum. Pertama kali mencoba melamar beasiswa Ausaid dan ingin langsung mengambil S3 saya gagal di tahap interview. Untuk tahun kedua saya mencoba lagi dua beasiswa yaitu Ausaid tetapi kembali mencoba keberuntungan mengambil S2 dan juga Fulbright untuk program S2 juga. Keberuntungan lagi berpihak, maka saya lulus dua beasiwa tersebut dan diharuskan memilih salah satu. Saya sebenarnya ingin memilih ke Australia, dengan beasiswa Ausaid tetapi atas masukan beberapa pimpinan kampusku waktu itu, aku dinasehatin untuk pergi ke Amerika. Akhirnya saya memutuskan untuk ke Amerika dengan beasiswa Fulbrigh dari tahun 2004-2006. tetapi dalam hati aku bertekad, bahwa suatu saat aku harus juga menempuh pendidikan di Australia. Ini hanya tertunda, tetapi tidak menutup kesempatan.

Alhamdulillah, pada tahun 2011, aku berhasil mendapatkan beasiswa ALA (Australian Leadership Awards) dengan tambahana award lainnya yang disebut ASA (ALison Sudradjat Award) utuk the best four dari 16 awards recipient terpilih pada tahun 2011 untuk intake 2012. Sebenarnya pada saat yang sama, keberuntungan tahun 2004 terulang lagi karena saya juga mendapatkan beasiswa DIKTI tetapi harus memilih salah satu dan saya putuskan untuk memilih ALA. Tetapi keberhasilan itu juga diawali dengan kegagalan karena 2 tahun sebelumnya saya sempat melamar beasiswa dua kali. Yang pertama gagal sejak di administrasi, dan yang kedua gagal pada tahap interview. Tetapi dua tahun kegagalan itu ternyata dikumpulkan oleh Allah dan diberikan semua kepada saya pada tahun 2011 dengan mendapatkan 3 beasiswa sekaligus. Betapa Dia mememang selalu memesra-manjai hambanya yang selalu berharap dan menyandarkan diri padaNYa. Begitulah, akhirnya seorang anak kampung yang tidak pernah bermimpi untuk melanglang buana itu bisa merasakan dan mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda tanpa mengeluarkan uang sepeserpun bahkan dengan bonus pendidikan, gelar, pengalaman, dan warna warni kehidupan lainnya. Alhamdulillah.