Senin, 22 November 2010

Putri Mandalika dan Perjuangan Moral Caleg Perempuan

Malam Minggu 14 Februari 2009, masyarakat Sasak, khususnya di Lombok Tengah, beramai-ramai ke Pantai Kute untuk menyambut munculnya nyale. Nyale adalah sejenis cacing laut yang bisa disantap lezat yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai jelmaan Putri Mandalika yang beratus-ratus tahun yang lalu menyeburkan diri di pantai tersebut.
Legenda Putri Mandalika ini sangat popular di kalangan masyarakat Sasak. Ia adalah putri seorang raja yang luar biasa cantiknya. Karena kecantikannya yang tersohor kemana-mana, banyak pangeran dari kerajaan tetangga yang ingin mempersuntingnya. Putri Mandalika sulit memilih. Pangeran-pangeran itu ingin bersaing dengan berlaga mengadu digdaya ilmu kanoragan. Siapa yang keluar jadi pemenang maka dialah yang berhak mendampingi putri Mandalika. Putri Mandalika tidak setuju dengan aturan main itu. Ia lalu berkeputusan untuk menceburkan dirinya ke laut untuk menghindari jatuhnya korban demi memperebutkannya.
Terlepas dari valid atau tidaknya cerita tersebut, paling tidak ada dua pesan moral yang bisa diteladani dari kisah ini. Pertama, Putri Mandalika adalah potret dari seorang perempuan yang benar-benar menjadi lilin. Ia sanggup mengorbankan dirinya untuk kebaikan orang lain. Dia rela menceburkan dirinya ke laut agar ia tidak menjadi sumber konflik yang mengakibatkan perseteruan dan perpecahan bagi rakyatnya. Ia merupakan gambaran citra perempuan sejati yang pernah didefinisikan oleh Martha C. Nussbaum dalam bukunya Sex and Social Justice ”who always be the mean and is not the end” (seseorang yang selalu menjadi perantara bagi kebaikan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri).
Kedua, Putri Mandalika telah menunjukkan penentangannya yang sangat keras terhadap budaya kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Pada titik ini, putri Mandalika menunjukkan nilai femininitasnya yang tidak memberikan dukungan terhadap kekerasan dan konflik dan cinta terhadap kelembutan dan perdamaian.
Dua ”moral of the story” yang terkandung dalam legenda Putri Mandalika tersebut di atas selayaknya menjadi titik tolak dan dasar pijakan bagi niat para aktifis perempuan yang tengah merebut posisi caleg saat ini. Dengan telah terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk menjadi anggota legislatif sampai dengan 30 % dan dianutnya sistem suara terbanyak bagi penentuan anggota legislatif, secara struktural-formal, perjuangan caleg perempuan sesungguhnya tidak banyak kendala.
Selanjutnya yang harus dipikirkan oleh caleg perempuan sekarang adalah bagaimana menuai kepercayaan rakyat. Bagaimana memposisikan diri menjadi ”ratu adil” yang dinanti-nanti oleh rakyat. Niat untuk menjadi wakil rakyat seharusnya tidak menjadi niat jangka pendek yang hanya ingin meraup hal-hal yang artifisial semacam jabatan dan keuntungan materi. Yang paling strategis untuk dipikirkan oleh para caleg perempuan saat ini adalah bagaimana membuktikan bahwa seorang perempuan memang punya kualitas moral dan kapasitas personal untuk, bersama-sama dengan kaum laki-laki, membawa kehidupan beragama dan bermasyarakat di negeri ini menjadi lebih baik.
Kami sebagai rakyat biasa sangat berharap, kelak para anggota legislatif perempuan ini betul betul mampu menawarkan warna baru bagi sepak terjang politik anggota legislatif. Sepak terjang politik yang menjunjung tinggi moral adiluhung dan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Politik yang mengedepankan kejujuran dan kompetisi yang sehat. Politik yang menghindarkan budaya sikut-sikutan dan permainan kotor. Politik yang tidak mengorbankan rakyat hanya demi kepentingan partai dan golongan. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti dari signifikansinya keterwakilan perempuan di ranah politik.
Semoga caleg-caleg perempuan menjadi wakil rakyat yang betul-betul mampu menempatkan diri sebagaimana mestinya. Yang mampu berkorban demi orang yang diwakilinya.Yang tidak melupakan rakyat yang memilihnya karena gaji besar, rumah atau mobil dinas yang menjadi lambang kemewahan anggota legislatif.
Wakil rakyat perempuan, bersama-sama dengan wakil rakyat laki-laki, semoga mengedepankan budaya perdamaian dan kelembutan daripada cara kekerasan dan konflik dalam menyelesaikan masalah.
Dengan berperilaku politik yang baik, para anggota legislatif perempuan akan bisa meyakinkan rakyat untuk lebih meningkatkan kepercayaanya pada keterwakilan mereka. Dengan demikian, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif akan bisa ditingkatkan dan berkeinambungan serta mampu memberikan keuntungan bagi rakyat secara terus menerus. Sekarang perjuangan para caleg perempuan ini harus diniatkan sebagai perjuangan moral yang memerlukan pengorbanan demi pencapaian yang lebih besar dan berlanjut di masa yang akan datang sebagaimana pengorbanan Putri Mandalika yang tiap tahun masih datang berwujud Nyale untuk mengunjungi rakyat dicintainya. Tanpa itu semua, perjuangan panjang dan melelahkan para aktifis perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tidak berarti apa-apa

Agresi Israel dan Agenda Feminisme

Beberapa saat yang lalu saya menghadiri seminar sehari yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMM (Universitas Muhammadiyah Mataram) dengan ICRC (International Commitee of Red Cross), sebuah organisasi international yang salah satunya menangani International Humanitarian Law (Hukum Kemanusiaan Internasional). Tema penting yang dibahas ketika itu adalah kode etik peperangan antara lain tentang ketidakbolehan pihak-pihak yang terlibat perang menyerang mereka yang tidak bersenjata dan dianggap “lemah” seperti kaum sipil, anak-anak, dan perempuan.

Diskusi tersebut cukup menarik karena banyaknya pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan atas efektifitas aturan tersebut di hadapan arogansi atau kemandulan dewan keamanan PBB yang tentu punya vested-interest dalam menangani permasalahan kemanusiaan maupun peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Beberapa minggu setelah diskusi tersebut, berbagai problem yang dipertanyakan saat itu menjadi kenyataan. Sekarang setelah lebih kurang 10 hari terjadi agresi militer Israel terhadap Palestina, belum ada titik terang kemana konflik tersebut akan menepi. Semakin banyak korban berjatuhan termasuk kaum sipil, anak-anak, dan kaum perempuan yang secara tegas dinyatakan oleh aturan tentang peperangan tersebut sebagai pihak yang tidak boleh menjadi korban apapun alasannya.

Di tanah air muncul protes dan demonstrasi di mana-mana menuntut keadilan terhadap Palestina. Yang menarik bagi saya, dari sekian aksi demo tersebut adalah munculnya aksi dari murid-murid TK al-Falah Surabaya yang berani ‘menyentil’ Kak Seto karena Kak Seto tidak bergeming dengan aksi kekerasan yang nyata-nyata banyak mengorbankan anak (Trans TV, 5 Januari 2008).

Aksi demo anak-anak ini sangat mengetuk hati. Menyaksikan mereka saya merasa bangga sekaligus malu. Saya bangga karena ternyata generasi muda sedini mereka sudah punya empati kemanusiaan yang cukup tinggi. Istimewanya mereka berani mengingatkan ”orang penting” seperti Kak Seto agar ikut peduli karena selama ini Kak Seto memang sangat terlibat dengan kepentingan anak. Bahkan, akhir-akhir ini, dengan beraninya beliau mengusulkan kepada MUI untuk meninjau hukum merokok dengan dalih keselamatan generasi (anak-anak) atas bahaya merokok. Akan tetapi, saya juga merasa malu karena selama agresi militer ini, sepanjang pengetahuan saya, belum ada organisasi yang mengatasnamakan kepentingan dan pemberdayaan perempuan (kaum feminis) yang ikut terjun dan berani menyatakan sikap serta menyentil orang-orang berpengaruh untuk mengutuk kekerasan Israel terhadap perempuan di Jalur Gaza Palestina sebagaimana yang dilakukan anak-anak al-Falah tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan akibat kejahatan perang ini sebenarnya merupakan isu strategis bagi organisasi dan para pemerhati perempuan. Melibatkan diri pada isu ini, menurut saya, akan sangat strategis bagi upaya menunjukkan kepada dunia bahwa gerakan feminis bukan gerakan perempuan yang menuntut kebebasan belaka, bukan pula gerakan yang ingin mengaburkan makna agama dan kemapanan tradisi, sebagaimana diasumsikan banyak orang, tetapi benar-benar sebuah gerakan luhur yang sangat peduli terhadap penindasan kemanusiaan.

Kalau selama ini para feminis memang sangat getol menyoal kekerasan terhadap perempuan dalam hukum misalnya dengan memprotes habis UU Pornografi Pornoaksi, menolak KDRT misalnya dengan berhasil menggolkan UU KDRT dan lain sebagainya, maka saatnya para feminis segera turun untuk mengambil sikap terhadap kekerasan perempuan di sana (di Palestina) atas kebiadaban Israel dan di manapun terjadinya. Apapun strategi, metode, upaya yang bisa menarik perempuan dari segala bentuk kebiadaban perlu diformulasikan bersama dan diperjuangkan untuk memastikan bahwa gerakan feminis senyatanya merupakan gerakan yang hadir untuk kemaslahatan perempuan khususnya dan relasi kemanusiaan yang lebih baik pada umumnya. Barangkali kita memang harus lebih banyak menimba semangat dan nilai kemanusiaan bagi gerakan, bahkan dari anak-anak al-Falah itu.

Banggaku Menjadi Orang Bima

Bima memang sebuah kota terpencil yang hanya bisa dicapai lewat jalan berkelok-kelok, menembus hutan menyebrangi lautan, menaiki bukit dan gunung melewati jurang terjal. Kondisi daerahnyapun panas dan berdebu. Tata kotanya jauh dari kesan kerapian. Rakyatnya dikenal berwatak keras, tidak gampang berkompromi dan suka bicara apa adanya. Tidak ada tempat wisata yang membanggakan di kota ini, bukan karena tidak indahnya landscape dan panoramanya, tetapi karena masih kurangnya tangan2 trampil yang mau menyulap kota ini menjadi sebuah kota impian. Tidak! Itu semua tidak pernah menyurutkan perasaan banggaku menjadi orang Bima. Dou Mbojo Sejati! Di balik itu semua, Bima menyimpan kearifan lokal yang jarang dipunyai oleh daerah lain.

a. Keberagamaan
Manusia Bima adalah manusia yang religius dan fanatik. Bisa dikatakan, orang Bima yang sejati pasti ta’at menjalankan ajaran agamanya. Ajaran agama yang kaffah yang tidak hanya menyentuh wilayah Iman, tapi juga Islam dan Ihsan. Orang Bima juga sangat inklusif terhadap perbedaan, baik interen beragama maupun antar umat beragama. Berbagai macam pemahaman bisa hidup berdampingan tanpa harus saling memusuhi. Mereka bisa mempunyai satu mesjid yang melakukan tarawih dengan dua macam jumlah rakaat dan mereka tetap menghargai satu sama lain. Pura dan masjid bisa berdekatan tanpa terjadinya konflik yang berarti. Tokoh agama dari kalangan NU, Muhammadiyyah maupun Parsis bisa berjuang bersama-sama dengan tidak mempermasalahkan background pemahaman fiqh mereka yang berbeda. Kalaupun ada konflik, itu hanya kecil-kecilan dan lebih merupakan konflik wacana yang bisa diselesaikan dengan diskusi secara imiah dan dewasa. Kepada masyarakat pendatang yang berbeda agama pun, masyarakat Bima sangat menghormati. Pendatang dari Timur yang beragama Kristen, pendatang dari Bali yang beragama Hindu, maupun etnis China dan Tionghoa bisa bebas menjalankan ajaran agamanya di sini. Ketika terjadi pembakaran saat haru biru reformasi terhadap toko2 etnis China, isu yang mendasari bukan agama tetapi lebih kepada kecemburuan sosial dan ekonomi antara masyarakat pribumi Bima dan etnis China. Semoga ini tidak terjadi lagi.
Kefanatikan orang Bima bukanlah kefanatikan yang membabi buta; adalah benar jika mereka sangat anti terhadap program2 yang berbau kristenisasi, mereka rela lapar dan tidak gampang menggadaikan ke’miskin’annya terhadap program2 berkedok bantuan. Tapi mereka juga sangat open utk diajak berdiskusi secara persuasif. Mereka punya kecerdasan emosional yang tinggi yang mampu menerapkan lakum dinukum waliya din.
Mereka juga sangat open terhadap isu modernisasi. Tingkat adaptabilitynya sangat tinggi. Pada titik tertentu, ini kemudian juga berpotensi negatif bagi pelestarian budaya genuine Bima yang Islami. Karena sangat open terhadap pengaruh luar yang mengklaim diri modern ini pulalah, anak2 muda Bima sekarang banyak yang telah menggunakan suara merdunya utk berkaroke dangdut ketimbang melatunkan ayat2 suci, kelenturan tubuhnya utk berjoget ala inul ketimbang mempelajari tarian budaya khas Bima semacam tari lenggo, wura bongi monca dan lain. Anak muda laki-lakinya lebih senang bergerombolan di deker menggoda cewek2 yang lewat dari pada mempunyai kegiatan yang konstruktif semisal menjadi remaja mesjid dan mempelajari seni2 tradisional Bima semacam ntumbu tuta, buja kadanda, ndiri biola dan Patu. Mereka bilang “itu kuno.” Sejatinya orang Bima hendaklah mampu menerima perubahan tetapi tidak sampai meninggalkan identitas budaya dan keagamaan. Fanatik tapi tidak munafik.

b. Kejujuran
Stereotype terhadap orang Bima sebagai orang yang berwatak keras dan tidak mau kompromi bisa jadi benar. Selain mungkin karena pengaruh alam dan kondisi kehidupan yang keras, sikap ini juga sebenarnya didasari oleh pilihan utk mau mengatakan apa adanya. Orang Bima adalah orang yang jujur dan ceplas-ceplos. Mereka tidak bisa berpura-pura baik di depan lalu menusuk dari belakang sebagaimana budaya daerah2 bagian barat Indonesia. Mereka tidak bisa melakukan sesuatu hanya karena ABS (asal bapak senang). Mereka lebih memilih utk dikucilkan dalam percaturan apa saja ketimbang harus munafik dan membohongi dirinya sendiri. Qullil haqqa walau kana murran benar2 menjadi pijakan bagi perilaku masyarakat Bima. Bagi mereka hanya kejujuran yang bisa membuat hidup mereka lebih bahagia. Kebohongan sebenarnya tidak hanya mengorbankan orang lain tetapi juga mengorbankan diri sendiri. Bagi mereka kata hati tidak pernah dusta dan mereka ingin mulut mereka sejalan dengan hatinya. Sejatinya orang Bima pasti menjunjung tinggi kejujuran.

c. Kebersamaan
Entah memang benar atau tidak, orang Bima adalah orang yang tidak bisa hidup tanpa berkelompok dan bergerombolan. Kebiasaan ini terbawa-bawa sampai mereka pergi merantau. Konon, menurut pantauan beberapa orang teman, perantau dari Bima pasti membangun rumah besar di daerah perantauannya karena memang sengaja utk disediakan bagi keluarga2 yang tidak henti-hentinya datang. Tidak hanya keluarga yang sedarah dan masih dekat, asal Bima saja sudah cukup bisa menjadi ticket masuk bertamu pada rumah orang Bima di perntauan
Ada joke yang berkembang yang menggambarkan perbedaan Budaya masyarakat Lombok, Sumbawa, dan Bima. Konon kalau suku Sasak ke daerah mana saja, yang pertama kali di cari adalah warung kopi karena begitu attached-nya mereka dengan kopi, suku Samawa selalu menacari toilet dan cermin karena mereka sangat memperhatikan penampilan sementara suku Mbojo pasti mencari wartel utk menghubungi saudara2 atau orang Bima lainnya yang bisa jadi tumpangan. Real atau fiksi joke tersebut, tapi sejatinya orang Bima adalah orang yang ikut menderita di saat saudara menderita dan berbahagia di saat teman bahagia.

d. Pendidikan
Suatu saat teman bertanya: “kenapa kebanyakan orang Bima yang pergi haji sudah tua-tua? ” Saya sendiri gak sempat berpikir ttg itu. Yang saya tau selintas, mungkin ketika itulah mereka bisa mendapatkan sejumlah uang utk membiayai perjalanan mereka. Yah.. tapi mengapa mereka baru mendapatkannya? Saya yakin karena bagi orang Bima berangkat haji ibarat rukun Islam yang ke-enam. Lho? Saya tidak bermaksud menambah rukun Islam menjadi enam rukun. Tapi memang bagi orang Bima pendidikan anak sangat penting. Mereka tidak buru2 ingin berangkat haji sebelum mampu mengantar anaknya ke pintu gerbang kesuksesan. Paling tidak setelah semua anak2nya berhasil menamatkan pelajaranya. Mereka mempercayai bahwa haji hanya wajib bagi orang yang mampu tetapi pendidikan wajib dilakukan tanpa memandang kondisi ekonomi. Mendidik anak bagi mereka adalah sebuah ibadah yang sangat tidak terhingga pahalanya dan tidak akan terputus. Amal jariyah. Bagi mereka, haji hanyalah dinikmati oleh mereka sendiri sedangkan pendidikan anak dan keberhasilan anak mereka dinikmati oleh semua orang. Tidak ada artinya kalau orang tua sudah bertitel haji padahal pendidikan anak tidak terurus. Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak mau meninggalkan anak cucu dan generasi penerus dalam keadaan lemah.

e. Profesi
Pada umumnnya profesi orang Bima adalah Guru. Di daerah manapun di seluruh Indonesia, tidak sulit ditemukan guru yang berasal dari Bima. Di tengah maraknya keluh kesah ttg sedikitnya gaji guru dan kurangnya dihargai pahlawan tanpa tanda jasa ini, orang Bima tetap banyak yang berbulat hati menjadi guru. Guru bukan saja profesi yang bisa menghasilkan materi bagi mereka tetapi terutama mencetak generasi penerus dan menghasilkan berbagai profesi. Walaupun berasal dari latar belakang pendidikan non-tarbiyah (non –keguruan) banyak orang Bima yang tetap ingin jadi guru dengan mengambil akta 4. Mungkin benar, pilihan menjadi guru juga banyak dipengaruhi oleh kondisi daerah Bima yang masih minim menawarkan lapangan kerja bagi profesi lainnya, tapi saya kira pilihan ini tidak saja atas dasar itu tetapi juga atas dasar keluhuran budaya yang memang menjadikan pendidikan sebagai segalanya. Bagi mereka gaji guru yang sedikit tetap lebih berkah dibandingkan dengan gaji profesi yang lain yang lebih banyak. Juga bagi mereka dengan menjadi guru, sangat tertutup kemungkinan utk korupsi dan mengambil hak orang lain. Yah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak terutama menguntungkan materi tetapi pengabdian adalah di atas segalanya.

f. Pengabdian
Lihatlah orang Bima yang berada di mana-mana! Mereka tidak pernah merasa bahwa pengabdian harus dilakukan di tanah kelahirannya sendiri. Semua bumi ini adalah bumi Allah. Di manapun mereka berada pengabdian mutlak harus dilakuan dengan sepenuh hati. Sebagian orang yang berasal dari daerah tertentu di negeri ini sering kali berkeluh kesah ketika ditugaskan keluar dari daerahnya dan mengupayakan berbagai cara hanya utk bisa kembali bertugas ke daerah sendiri. Orang Bima tidaklah demikian. Mereka akan menganggap daerah rantauannya sama berartinya dengan daerahnya sendiri. Mereka tidak mau diskriminatif. Sayangnya sikap ini kemudian menjadi justifikasi bagi keengganan sebagian orang Bima utk kembali membangun daerah asalnya. Masih beruntung kalau dari jauh mereka mau memkirkan ttg Bima, mencari jalan keluar bagi terus terpuruknya Bima. Ironisnya, ada juga yang bahkan enggan kembali walaupun utk sekedar mengunjungi, naudzubillah! Mereka tidak ingat lagi bahwa rakyat daerah inilah yang melambaikan tangan ketika mereka merantau. Mulut2 orang tua di daerah inilah yang tak hentinya memanjatkan do’a bagi keberhasilan mereka. Tanah, air, pepohonan yang ada di daerah inilah yang ikut andil menjadikan mereka seperti itu . Saya seakan tertampar ketika suatu saat teman dari daerah lain saya ajak jalan2 ke Bima, melihat Sape sampai ke Parado, dia pun berkomentar: “tidak bisa dipercaya Bima bisa memiliki tokoh2 hebat bertaraf nasional dan internasional, tetapi lebih tidak bisa dipercaya lagi kondisi Bima masih seperti ini sementara tokoh2 yang dilahirkannya telah mampu memimpin dengan sukses di manapun mereka berada.” Sejatinya orang Bima adalah orang yang tidak pernah tercerabut dari akar kelahirannya.


g. Penghargaan terhadap perempuan
Budaya Bima menempatkan perempuan sebagai mahluk yang perlu mendapatkan perlakuan yang sama. Di Bima, upacara khitanan misalnya tidak saja berlaku utk laki-laki tetapi juga utk perempuan. Di beberapa daerah lain di Indonesia, misalnya, anak perempuan tidak pernah di ramaikan acara khitannya. Walaupun feminis Barat misalnya masih menganggap bahwa FGM (female genital mutilation) bertentangan dengan hak asasi dan merupakan kekerasan terhadap perempuan, pendapat itu hanya berlaku utk praktek pada sebagian negara Afrika yang memotong habis bagian tertentu pada alat vital perempuan agar mereka tidak bisa menikmati hubungan suami istri (baca: sex). Di Bima yang terjadi bukanlah FGM tetapi FGC (female genital circumscission). Hanya sedikit yang dipotong dan itupun justeru utk membersihkan dan menjadikannya lebih peka. Walaupun memang menurut hadits, sunatan bagi anak perempuan adalah sunnah, tetapi Di Bima upacaranya tetap sama meriahnya dengan upacara bagi anak laki-laki.Mungkin sebagian kita menganggap itu sesuatu yang taken for granted, tapi sebenarnya menurut hemat saya di balik itu terkandung sebuah perlakuan yang tidak pernah mebedakan anak laki dan anak perempuan. Dalam kadar dan masalah tertentu, laki-laki dan perempuan berhak utk mendapatkan perlakuan yang sama.
Di Bima juga kasus poligami dan kawin cerai tidak setinggi di daerah lain di NTB.. Tidak dapat dipungkiri poligami dan kawin cerai yang dipraktekkan dewasa ini lebih menjadikan perempuan sebagai korban. Poligami tidak lagi berdasar seperti yang dicontohkan oleh Rasul. Kawin cerai hanya merugikan pihak perempuan yang dalam banyak hal masih tergantung secara ekonomi kepada orang laki-laki. Di Bima, walaupun ada, kedua kasus itu tidaklah semarak di daerah yang merupakan tetangganya misalnya. Di suatu daerah di NTB misalnya, bahkan ada tradisi nikah setiap panen. Ketika mereka ingin menceraikan atau bercerai, cukup mengusir istri utk kembali ke rumah orang tuanya. Keterlibatan hukum negara yang mengharuskan cerai di depan pengadilan sangat minim. Masya allah,, beginikah pernikahan yang dianjurkan oleh agama Islam? Orang Bima tidak mungkin mau menjadikan perempuan hanya sebagai obyek. Begitulah.. sejatinya orang Bima adalah orang yang mau menghargai perempuan.

Yah.. itulah nilai2 luhur yang dipunyai atau seharusnya masih dimiliki oleh orang Bima. Sebagian dari mereka masih mau mempertahankan nilai itu. Sebagian lagi tengah tergoda oleh perubahan dan menganggap nilai2 luhur yang dimiliki sebagai sesuatu yang out of date. Bagiku, banggaku menajdi orang Bima bukan saja dengan menjustifikasi diri sebagai pemilik budaya luhur tetapi juga mampu mepertahankan budaya itu dan mewujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Banggalah menjadi orang Bima dengan tetap memegang nilai2 luhur nenek moyang kita! Ke Bima aku akan kembali.